Pa Bai, bisa dikatakan dia seperti bapak angkatku. Usianya sekitar 40-an, dia seorang diri tinggal di sebuah rumah kecil tepat di depan kantor. Dia yang dari dulu menjaga kantor ini sebelum aku tinggal di sini. Dia sangat baik padaku. Ketika aku butuh bantuan apapun, dia akan selalu siap menolong.
Dulu, ketika kejadian handphone-ku kecebur di laut, aku menghabiskan setengah gaji pertamaku untuk membeli handphone baru. Bisa dikatakan sisa gajiku itu tidak cukup untuk biaya hidupku sebulan mengingat biaya hidup di Belitung sangat mahal dan aku apa-apa harus beli.
2 minggu sebelum gajian kedua, dompetku sudah sangat menipis, akhirnya dengan terpaksa aku menyetok banyak sekali indomie. Aku membeli panci kecil untuk merebus mie, kebetulan ada kompor minyak yang sudah tidak dipakai lagi di kantor. Pa Bai memberiku minyak tanah dan korek api. Terkadang aku juga menggoreng tempe dengan tepung bumbu cepat saji, lalu untuk nasinya aku minta ke Pa Bai. Karena di kantor tidak ada TV, maka di rumah Pa Bai juga aku biasa menonton TV. Dia juga sering membelikan jajan pasar saat pagi hari untuk aku dan Sinta. Masalah kebersihan kantor semuanya aku yang mengerjakan, tapi kalau mengenai menguras bak kamar mandi, itu menjadi urusan Pa Bai karena penutup lubang untuk membuang airnya sangat keras sehingga hanya Pa Bai yang bisa melakukannya.
Sekitar seminggu yang lalu, kami mengalami kejadian buruk. Rumah yang aku tinggali kini, merupakan kantor Belitung Adventure tempat aku bekerja. Kami memiliki dua destinasi wisata yaitu Pulau Kepayang dan Batu Mentas. Pulau Kepayang merupakan sebuah pulau kecil yang untuk mencapainya memakan waktu sekitar 40 menit naik mobil, lalu dilanjut sekitar 20 menit naik perahu. Sedangkan Batu Mentas berada sekitar 25 km dari kantor, berada di tengah hutan, di kaki Gunung Tajam. Untuk mencapainya juga sekitar 40 menit dengan menggunakan mobil.
Sudah biasa, ketika pegawai yang dari Batu Mentas maupun Kepayang ada keperluan di sini, entah belanja kebutuhan ataupun keperluan lainnya, mereka sudah tentu akan menginap di kantor dan kembali ke pulau maupun Batu Mentas keesokan harinya. Hampir semua pegawai Belitung Adventure adalah laki-laki. Selain itu, sudah hampir dua bulan ini ada beberapa anak SMA dari Bangka yang PKL di Batu Mentas, mereka semua juga laki-laki.
Sekitar sebulan yang lalu juga ada 4 mahasiswa UNPAD yang juga PKL di Pulau Kepayang, mereka semua juga laki-laki. Belitung Adventure merupakan agen travel yang berbeda dengan agen travel lainnya yang ada di Belitung karena kami merupakan anakan dari organisasi lingkungan KPLB (Kelompok Peduli Lingkungan Belitung). Destinasi wisata kami pun merupakan tempat konservasi penyu (P. Kepayang), dan penangkaran Tarsius yang merupakan binatang endemik Belitung (Batu Mentas).
Malam itu, di kantor ada Gagas, Tono, Asep, Septian, Rizki, Hafiz, dan aku. Mereka baru saja diajak kondangan oleh Bang Ade. Karena sudah malam, tentu saja mereka menginap di kantor dan hal itu memang sudah biasa. Kejadiannya saat Hafiz mengajak Tono menonton pertunjukan dangdut di dekat kantor yang kebetulan sedang ada hajatan. Tono yang saat itu tidak membawa sandal jepit, dia hendak meminjam sandal jepitku. Sandal jepitku sedang dipinjam Gagas ke rumah Pa Bai. Ketika hendak memanggil Gagas, kulihat dia sedang mengobrol dengan seorang bapak di depan rumah Pa Bai. Saat itu di depan rumah Pa Bai memang ada beberapa laki-laki bertampang sangar, mereka sedang minum bir. Aku tak asing dengan beberapa wajah laki-laki itu karena mereka memang sering nongkrong di rumah Pa Bai.
Saat akan kupanggil si Gagas, kulihat Gagas sedang mengobrol dengan mereka. Tumben sekali karena setahuku mereka tidak pernah mengajak kami ngobrol sebelumnya. Lama-lama lho kok si bapak itu marah-marah dan sambil nunjuk-nunjuk aku juga. Detik selanjutnya, dia berteriak-teriak memaki-maki kami, semua kata kasar, dari mulai tai, asu, anjing, dll, semuanya dia sebutkan. Mereka mengusir Gagas dan lainnya agar pergi dari sini. Kalau mereka tidak mau pergi, aku yang disuruh pergi. Dia menganggap kami berlaku mesum di rumah ini karena memang dia sering memperhatikan rumah ini dalam keadaan ramai di mana kebanyakan laki-laki.
Namun, hal yang paling aku tidak sukai adalah dia sampai masuk ke rumah kami, sambil membawa botol bir, berteriak-teriak berkata kalau Gagas dan kawan-kawan tidak mau pergi, yasudah sekalian aja dia (si bapak itu beserta kawan-kawannya) ikut tidur di situ bersama aku! Sebetulnya dia mengataiku dengan kata-kata yang melecehkanku, tapi aku tak mau menyebutkannya di sini. Aku sangat jijik jika mengingat kata-katanya itu, dan itu sungguh menyakitkan hati!
Gagas dan yang lainnya, meskipun mereka laki-laki, namun tetap saja mereka masih SMA dan mereka juga orang asing di sini, mereka sangat ketakutan, termasuk aku. Jantungku berdegup sangat kencang bercampur gemetar di seluruh badanku. Tono dan Gagas berkali-kali meminta maaf dan mengatakan kalau mereka hanya numpang tidur, mereka adalah anak buah Bang Budi. Namun, hal itu tidak mengubah keadaan. Si bapak masih saja marah-marah. Gagas dan yang lainnya dengan cepat membereskan barang mereka lagi segera pergi. Aku segera mengunci pintu rumahku, dan aku langsung masuk ke kamar. Aku sangat ketakutan, tak tahu harus berbuat apa. Tidak lama kemudian, ada yang mengetuk-ngetuk pintuku dengan keras. Feeling-ku sudah tidak enak. Matilah aku kalau bapak itu berbuat macam-macam padaku dalam posisi aku sendirian. Kubuka pintu, dan memang benar bapak itu lagi.
Sekali lagi dia marah-marah, lalu bertanya “Kamu tau ngga siapa saya?” antara takut dan ragu, aku hanya menggelengkan kepalaku. Dia kembali lagi bertanya “Kamu ngga tau siapa saya?” Kali ini kubuka mulutku dan kujawab tidak tahu. Bapak itu langsung terdiam dan menyuruhku masuk ke kamar lagi. Kututup pintu rumah, aku masuk ke kamarku dan tak dapat ditahan lagi aku menangis. Inilah hal paling mengerikan yang benar-benar membuatku takut selama aku di Belitung. Aku memang benar-benar tidak tahu siapa dia, yang muncul di otakku pertama kali ketika dia bertanya seperti itu adalah dia itu semacam kepala geng atau kepala preman yang ditakuti oleh semua orang. Namun, kenyataanya sangat jauh dari perkiraanku.
Pagi harinya, Bang Ade datang bersama Gagas dan kawan-kawan. Ternyata mereka menginap di sana semalam. Dan kami kaget ketika kami temukan mobil tempur kami sudah dalam kondisi bocor ban depannya. Bang Ade segera menelfon Bang Budi untuk segera datang. Lalu dia menceritakan semuanya pada Bang Budi. Dari situ barulah aku tahu kalau dia adalah anggota DPRD Belitung, namanya Pak Toni. Waow, wakil rakyat macam apa itu. Gila aja wakil rakyat kelakuannya kayak gitu. Bang Budi sangat marah mendengarnya, dan pagi itu juga dia langsung menuju kantor anggota dewan. Tidak akan Pak Toni mencari bang Budi, tapi Bang Budilah yang akan mencari dia. Siang harinya Bang Budi kembali ke kantor, dan menceritakan kalau Pak Toni tidak ada di kantor, entah bolos atau kemana, kami tak tahu. Dua hari kemudian, Om Glen, lawyer KPLB yang baru saja mendengar cerita itu, pagi-pagi langsung mendatangiku. Dia bertanya apa saja yang sudah dilakukan Pak Toni itu. Kuceritakanlah semuanya. Om Glen sangat geram, dan dia langsung menuju kantor dewan saat itu juga.
Keesokannya, Om Glen datang ke kantor kami lagi, dan menceritakan semuanya. Om Glen berhasil menemui Pak Toni di kantornya dan tentu saja langsung marah-marah padanya. Tindakannya itu sungguh tidak pantas, dan dia tidak berhak bertindak seperti itu. Rumah kami adalah kantor, tempat kami rapat, dan melakukan kegiatan-kegiatan lain termasuk sebagai tempat transit orang-orang dari Batu Mentas ataupun dari pulau. Pak Toni sudah menggangu organisasi kami, dan aku yakin Pak Toni sama sekali tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Dia pasti awalnya hanya berpikir kami adalah sekumpulan remaja nakal yang melakukan tindakan negatif di sebuah rumah. Dan aku yakin, hari itu juga dia sangat menyesal dengan perbuatannya. Sekali saja dia membantah kami, maka dia akan berurusan dengan polisi dan meja hijau, yang sudah bisa dipastikan dia akan kalah. Tindakannya marah-marah sambil bawa botol bir saja itu sudah salah besar, apalagi ditambah dengan statusnya yang sebagai wakil rakyat.
Hhhhh…..apakah dia pikir dengan jabatannya itu dia bisa melakukan segalanya? Baru juga jadi wakil rakyat di Belitung, sudah sombong betul dia. Sejak kejadian malam itu, baik siang maupun malam dia sudah tak pernah menampakkan lagi batang hidungnya termasuk orang-orang yang sering nongkrong di rumah Pa Bai. Kurasa mereka semua takut. Kalau mereka takut, berarti mereka tahu kalau mereka memang salah. Meskipun aku tahu kalau aku akan aman dan baik-baik saja, tetap saja masih ada sedikit rasa khawatir. Pa Bai yang juga khawatir denganku, dia memasang dua buah pengait kayu di pintu kamarku. Katanya biar lebih aman. Om Glen juga sudah bilang kalau ada apa-apa lagi bilang saja, dia akan selalu siap membantu. Aku sungguh bersyukur aku hidup di antara orang-orang seperti mereka. Mereka sudah seperti keluargaku di sini.