Monbukagakusho Story

Meskipun ini sedikit terlambat untuk membuat sebuah resolusi, tak masalah buatku. Toh aku juga tak pernah ingat apa yang menjadi resolusiku di setiap awal tahun. Terwujudkah, tidakkah, aku tak pernah ingat, yang kuinginkan hanyalah segala harapan dan mimpi-mimpiku bisa terwujud. Itu saja.

Tahun 2013 bisa dikatakan tahun penuh “bencana”, tetapi sekaligus sebagai tahun yang penuh berkat. Dari “bencana-bencana” itulah aku belajar banyak hal, dan aku mengalami pendewasaan diri yang membawa berkat untuk diriku sendiri. Kali ini, aku hanya ingin bercerita tentang berkat luar biasa yang belum lama ini kuterima.

Akhir April aku kembali ke Jawa usai merantau selama setengah tahun di Belitung. Awal Mei aku masuk ke sebuah perusahaan Indo-Jepang di Bekasi. Kuharap dengan aku bekerja di perusahaan ini, aku akan memiliki kesempatan untuk mewujudkan impianku, mengunjungi Jepang, meski hanya sebentar.

Semenjak aku kuliah, aku berlangganan info beasiswa baik dalam maupun luar negeri melalui email. Bisa menimba ilmu di luar negeri, itu salah satu cita-citaku sejak dulu, khususnya untuk Jepang.

Aku kuliah di UGM dengan jurusan bahasa Jepang. Beruntung, dengan nama besarnya, kampusku ini memiliki banyak sekali kerjasama beasiswa ke berbagai penjuru dunia. Karena aku jurusan bahasa Jepang, sudah barang tentu beasiswa ke Jepanglah yang aku cari. Salah satu beasiswa yang ditawarkan adalah beasiswa Monbukagakusho untuk program Japanese Studies.

Pada tahun kedua perkuliahan, kami bisa mengikuti seleksi internal yang diadakan oleh jurusan. Dari hasil itulah nanti akan dipilih 20 orang dengan nilai tertinggi, akan mendapatkan rekomendasi dari jurusan untuk mengikuti seleksi di Jakarta. Sesungguhnya aku tak terlalu percaya diri untuk mengikuti seleksi ini karena kemampuan bahasa Jepangku yang masih sangat minim. Namun, tidak ada salahnya bukan, jika ingin mencoba. Benar saja, ketika hari ujian itu tiba, ketika kulihat soal yang ada di hadapanku, hmm..betul 30% saja aku tak yakin. Oke, kuanggap seleksi ini hanya sebagai salah satu ajang percobaan. Dan memang benar, ketika pengumuman keluar, tak ada namaku tertera di antara 20 orang itu. Sedikit kecewa, namun tak masalah karena aku masih bisa mencobanya lagi di tahun berikutnya.

Di tahun berikutnya, mengetahui kemungkinan lulus seleksi internal minim, aku dan beberapa temanku secara diam-diam, dengan sedikit merayu dan pasang muka memelas, meminta Pak Oekon, salah satu dosen terbaik kami untuk memberikan rekomendasi. Dan untungnya, Pak Oekon bersedia membantu kami sehingga kami bisa langsung mengikuti seleksi di Jakarta tanpa harus lulus seleksi internal. Anggap saja ini jalan pintas, rahasia antara kami dan dosen kami yang sangat baik hati.

Pusat Studi Jepang UI menjadi tampat paling bersejarah di hidupku. Di tempat inilah, nasib kami ditentukan. Entah berapa ratus orang yang ada di ruangan ini, dan entah dari universitas mana saja mereka datang. Kami semua memiliki misi yang sama, berjuang untuk mendapatkan satu tahun kesempatan belajar di Jepang. Kubuka halaman pertama buku soal yang terpampang di mejaku. Kulihat soalnya cukup mudah, kuselesaikan soal pertama dengan lancar. Halaman kedua, ketiga, aku masih bisa mengerjakannya, hingga halaman keempat dan selanjutnya kepalaku mulai pening. Soal ini telah berubah menjadi rangkaian kanji yang sama sekali tak kumengerti. Pertanyaannya saja aku tak tahu, apalagi jawabannya. Kupakai ilmu feeling untuk menyelesaikan semua soal hingga akhir. Ujian usai, hasilnya kuserahkan pada Tuhan saja. Jika aku berhasil berarti Tuhan mendengar doaku. Namun jika aku gagal, berarti Tuhan kebetulan sedang istirahat sehingga tidak mendengar permintaanku.

Hingga bulan berikutnya, akhirnya kutahu ternyata Tuhan memang kebetulan sedang istirahat saat itu. Dia tak menjawab permohonanku. Tak ada satu pun dari kami yang lulus ujian tertulis. Yasudah, kurasa dua kali sudah cukup. Mungkin Monbukagakusho memang bukan jodohku. Mungkin saja aku akan ke Jepang dengan cara yang lain seperti menikah dengan orang Jepang mungkin? Who knows? 😀

Seperti biasa, kucek email yang masuk pagi ini. Dan seperti biasa, ada email dari scholarshipsbank.com. Kubaca satu persatu, tak ada tawaran beasiswa yang cukup menarik minatku, hingga kulihat link yang ada di bagian bawah. Beasiswa Monbukagakusho. Akh, paling-paling juga yang Japanese Studies lagi, dan kalau benar begitu, aku sudah tak bisa mendaftar karena aku kan sudah lulus, pikirku saat itu. Ketika kulihat, owh ternyata program yang untuk lulusan SMA. Ah, ini juga jelas tak mungkin. Beasiswa itu hanya tersedia untuk anak-anak jurusan IPA dan IPS sedangkan aku dulu jurusan Bahasa. Kubaca sekilas pengumuman itu, hey..aku melihat ada sedikit perbedaan di bagian persyaratannya. Yang berbeda adalah bagi pelamar IPS, jika memiliki sertifikat JLPT minimal N3 untuk S1 dan minimal N4 untuk D2 juga bisa mendaftar. Lalu, untuk nilai minimal rata-rata ujian nasionalnya masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya yaitu 8.40 untuk S1 dan 8.00 untuk D3 dan D2. Dan mengenai batasan usia, peserta haruslah lahir antara 2 April 1992 dan 1 April 1997, dan aku lahir 7 Juni 1992. Aku mulai bersemangat membacanya. Kurasa aku memiliki sedikit peluang untuk ini. Kucek waktu pendaftarannya, 27- 14 Juni untuk lulusan tahun 2013 dan 1-24 Mei untuk lulusan tahun 2012 dan sebelumnya. Kutengok tanggal hari ini, oh my God ini 11 Juni. Aku terlambat.

Rasa bimbang mulai menggerogotiku, bingung antara yakin dan tak yakin. Pertama, aku dari kelas bahasa, dan nilai rata-rata UAN ku hanya 7.80. Kedua, aku punya sertifikat JLPT tapi yang versi lama, Level 4 yang kuambil saat aku masih semester awal kuliah bahasa Jepang, jelas itu sudah tak berlaku. Lalu yang ketiga, aku lulus SMA tahun 2009 dan batas waktu pendaftaran hanya sampai 24 Mei. Aku benar-benar bimbang. Jika persyaratannya memiliki JLPT hanya untuk menunjukan bahwa pelamar memiliki kemampuan bahasa Jepang, kurasa aku punya dokumen lain yang bisa menunjukannya. Ijazah. Aku sudah wisuda, dan aku memiliki ijazah bahasa jepang dengan IPK Cumlaude. Setengah ragu, kuselipkan copy ijazahku di antara seluruh dokumen persyaratan. Aku sangat menggantungkan nasibku pada ijazahku. Dari modal nekad, kuharap Dewi Fortuna mau menghampiriku.

Hari itu juga kusiapkan seluruh persyaratannya. Sepulang kerja langsung kutuju JNE terdekat, dan kuposkan dengan layanan tercepat. Aku tak mau kehilangan kesempatan ini, segalanya harus kuusahakan.

Selama sebulan aku gelisah, menunggu hasil. Aku ingat betul di catatan akhir persyaratannya tertulis bahwa tidak semua pelamar akan dipanggil untuk ujian tertulis. Ditulis dengan garis bawah dan cetak  tebal. Itu berarti, tidak semua dokumen yang masuk akan diterima. Kubayangkan berapa banyak SMA yang ada di Indonesia, dan berapa banyak yang memiliki nilai di atas 8.00. Belum lagi JLPT ku, lalu keterlambatanku. Owh, aku benar-benar merasa tidak ada harapan. Sudahlah, kuanggap ini seperti yang kulakukan sebelumnya, ajang untuk menjajal keberuntungan.

5 Juli, sebuah email masuk ke inbox gmailku. Oh God, itu jadwal ujian tertulis beasiswa Monbukagakusho. Kucek seluruh daftar peserta di attachmentnya, ya ampun, ada banyak sekali. S1 dan D3 langsung kulompati saja, aku ingin segera tahu apakah namaku ada tertulis di situ. Halaman pertama, tidak ada, kedua, tidak ada, ketiga juga tidak ada. Aku mulai khawatir, lalu keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan..aku tercekat. Namaku, ya ada namaku tertulis dengan backlight hijau. Ya Tuhan, betapa girangnya aku saat itu. Semua keraguan itu akhirnya terjawab sudah. Mereka mau menerima segala ketidaksempurnaan dokumenku. 9 Juli, aku harus bersiap menghadapinya.

Hari ujian pun tiba. Bodohnya aku, entah sudah berapa kali kesulitan yang pernah kuhadapi karena ketidaktelitianku. Usai menyeleseikan ujian bahasa Jepangku, kutanya petugas yang mengumpulkan hasil ujian kami apakah aku sudah diperbolehkan pulang atau belum. Betapa kagetnya aku karena dia berkata bahwa jam 1 aku harus kembali ke ruangan ini lagi untuk ujian bahasa Inggris dan Matematika. Aku merasa mati rasa saat itu juga. Aku tak membaca keterangan yang tertulis di websitenya secara mendetail. Kupikir aku hanya harus ujian bahasa Jepang karena aku mendaftar dengan JLPT, tapi ternyata…owh…sial. Bahasa Inggris, kurasa aku masih bisa mengerjakannya, tapi matematika? Hey, terakhir aku belajar matematika empat tahun lalu. Matematika bukan ilmu pemahaman, itu ilmu pasti, aku tak akan bisa mengarang sebuah jawaban tanpa sebuah rumus. Oke, kuharap kali ini keberuntungan kembali menghampiriku.

Kulihat soal matematika yang ada di hadapanku. Aku benar-benar tak mengerti soal macam apa itu. Deretan angka-angka di hadapanku erasa seperti makhluk asing yang tak tahu harus kuapakan. Lebih sialnya lagi, soal ini bukanlah soal dengan pilihan ganda. Di hadapanku hanya ada deretan baris-baris kosong minta diisi. Kucoba untuk mengingat rumus-rumus yang mungkin masih sedikit tersisa di otakku. Logaritma? Aku lupa. Phytagoras? Sama sekali tak ingat. Aljabar? Bilangan apa itu? Kubiarkan lembar jawabanku kosong selama beberapa waktu. Kupandangi peserta ujian lainnya di sekitarku, mereka nampak sangat serius menghadap meja, mengerjakan soal itu. Kebanyakan dari mereka pastilah baru lulus SMA, mengerjakan soal seperti ini pasti tidak terlalu sulit bagi mereka. Apalagi mengingat nilai rata-rata mereka yang pasti semuanya di atas 8, kecuali aku. Yeah, kecuali aku….

Mungkin saja aku telah menggunakan rumus logaritma untuk mengerjakan soal aljabar, atau rumus phytagoras untuk soal logaritma, atau logaritma untuk aljabar? Akh, aku sudah tak peduli. Otakku sudah mentok. Matematika bukan bakatku. Aku tak pernah menyukai pelajaran berbau angka sejak dulu!

Waktu mengerjakan pun usai, dan semua baris telah penuh terisi angka. Angka yang kudapat entah dari mana. Pokoknya, semua sudah kuisi. Aku sudah menyeleseikannya. Itu saja.

Agustus, yah, sebentar lagi pengumuman hasil seleksi tertulis. Aku benar-benar tak berharap banyak. Bisa mendapat kesempatan ikut ujian tulis saja itu sudah membuatku bersyukur.

Aku dalam perjalanan pulang dari Cilacap ke Bekasi usai mudik libur lebaran. Di bus yang baru melaju sekitar 3 jam dari jam keberangkatan, aku teringat bahwa hari ini adalah hari pengumuman yang kunanti. Melalui smartphoneku, kucek website kedubes Jepang. Pengumumannya sudah keluar! Langsung saja kuklik link yang untuk D2. Nama yang tertulis urut berdasarkan abjad. Halaman pertama, tak ada namaku. Halaman kedua, samar-samar, karena smartphoneku kecil, kulihat sepertinya ada namaku. Kuperbesar, dan aku tercekat. Oh my God, itu namaku! Namaku! Aku lulus! Akh, seandainya aku tak ingat aku sedang berada di bus saat itu, mungkin aku sudah berteriak kegirangan. Kubaca keterangan yang ada di atasnya, wawancara tanggal 24 Agustus, dan aku harus menyiapkan berbagai macam dokumen untuk kubawa saat wawancara, salah satunya adalah surat rekomendasi dari sekolah dan kampus. Tanggal 24 hari rabu, itu tak sampai seminggu dari sekarang. Dan ini hari jumat, itu artinya, aku harus kembali ke rumah lagi, waktuku benar-benar terbatas. Tapi aku sudah terlanjur dalam perjalanan menuju Bekasi.

Sesampainya di Bekasi, aku langsung memesan tiket kembali ke Cilacap untuk malam ini. Usai meminta ijin pada atasan bahwa aku tak bisa masuk ke kantor untuk beberapa hari, aku kembali ke kos, lalu packing lagi. Lelah, yeah..sangat. Tapi ini semua demi mimpi, segalanya akan kulakukan. Sore itu juga aku ke stasiun, kembali ke Cilacap.

Esok hari, betapa terkejutnya ibuku ketika melihatku masuk ke dalam rumah. Dia mulai menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. Bahkan dia sampai berkata apakah aku dipecat karena terlalu lama libur. Aku hanya senyum-senyum melihat ekspresi ibuku. Aku memang tak memberitahunya bahwa aku sedang mengikuti seleksi beasiswa ke Jepang. Ketika kuceritakan segalanya, dia mulai tenang, namun juga bingung. Aku tak dapat membaca ekspresinya. Kedua orangtuaku bukanlah orangtua yang suka heboh ketika mendengar sesuatu yang mengejutkan. Tapi aku tahu, meskipun nampak bingung, mereka sesungguhnya ikut senang.

Selama beberapa hari aku bolak-balik Cilacap dan Jogja. Mulai dari minta rekomendasi sekolah, kampus, hingga medical check up. Semua kulakoni demi satu cita-cita, Jepang.

Aku baru bisa menyeleseikan segala urusanku pada hari selasa siang. Selasa sore aku kembali ke Bekasi dengan menggunakan bus. Rabu dini hari, aku tiba di Bekasi. Saat itu badanku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Akhirnya, kubaringkan tubuhku sejenak. Aku benar-benar lelah ketika waktu sudah menujukkan pukul lima pagi. Aku harus segera beranjak dari tempat tidurku, jam setengah enam aku harus sudah berangkat ke Kedubes. Sedikit sempoyongan, kupaksakan mandi.

Esok harinya adalah waktu tersibuk para karyawan yang hendak berangkat bekerja menuju Jakarta. Aku yang belum pernah bepergian pada pagi hari di jam kerja, tak berhasil mengantisipasi kondisi tersebut. Aku terlambat naik bus yang yang datang hanya satu jam sekali sehingga terpaksa aku menunggu bus selanjutnya sambil harap-harap cemas. Bus selanjutnya pun tiba, dan perjalanan yang begitu lama ini membuatku terlambat sekitar 15 menit.

Aku masuk ke ruang wawancara bersama tiga orang kawan yang belum kuketahui namanya. Dalam catatan yang mereka tuliskan, wawancara akan dilakukan menggunakan bahasa Indonesia. Tapi kenyataannya, kedua orang yang mewawancarai kami berbicara dalam bahasa Inggris. Kami diminta menjawab dalam bahasa Jepang atau bahasa Inggris. Kupilih menggunakan bahasa Jepang, yah meskipun ada beberapa kata yang kukatakan dalam bahasa Inggris. Tapi sepertinya mereka bisa memahami. Wawancara yang pada awalnya kupikir akan sangat mengerikan, ternyata tidak separah yang kubayangkan. Namun, itu tak menjamin bahwa aku akan diterima karena aku tahu dan sangat yakin, sebagian besar di antara mereka memiliki kemampuan yang luar biasa hebat. Jika tidak, bagaimana mungkin mereka bisa sampai ke tahap ini, mengalahkan ribuan peserta lainnya.

Menunggu hingga 1 Januari 2014 bukanlah waktu yang singkat. Waktu terasa berjalan begitu lambat. Aku mulai tak fokus dengan pekerjaanku, terlebih ketika sedang dikejar deadline. Akh, aku ingin segera resign! Tapi aku harus bertahan, minimal sampai pengumunan itu keluar. Karena jika aku resign sekarang, aku tak tahu hendak melakukan apa. Daripada menjadi pengangguran, lebih baik tetap berkerja di sini meskipun sedikit kurang nyaman.

Di suatu sore yang sangat membosankan, tanggal 4 Desember 2013 sebuah notifikasi masuk di handphoneku. Beberapa email masuk ke inbox gmailku. Kubuka satu persatu, ada sebuah email dari bagian pendidikan. Aku tercekat, mungkinkah pengumumannya datang lebih cepat?  Kubuku email itu segera. Yah memang benar, itu adalah pengumuman siapa saja yang lulus beasiswa Monbukagakusho. Ada attachment di situ. Segera kuklik, download, dan terbuka. Kulihat halaman pertama tak ada namaku, hingga halaman kedua, meskipun sedikit samar karena handphoneku berukuran kecil, kulihat seperti ada namaku tertulis di situ. Kuperbesar, dan aku benar-benar tak percaya dengan apa yang kulihat saat itu. Bahagia bercampur tak percaya. Akhirnya, setelah bertahun-tahun penantian, kesempatan ini pun akhirnya tiba. Aku benar-benar tak bisa berkata apa-apa. Semuanya tepat pada waktu-Nya.

Aku tak pernah benar-benar mengira bahwa aku akan berada di sini, bersama 72 penerima beasiswa Monbukagakusho. Di Kedubes Jepang Jakarta, kami berkumpul untuk acara pelepasan bagi para penerima beasiswa. Dulu aku hanya bisa melihat di website Kedubes foto para penerima beasiswa tahun-tahun sebelumnya. Namun kini, aku ada di sini, sebagai pelakunya. Tak ada kata lain untuk mengungkapkannya selain bahagia.

H-1 sebelum keberangkatan. Aku tak merasa gamang atau pun bersedih. Benarkah itu? Atau ini hanya nampaknya saja? Aku tak yakin, tapi saat ini aku memang merasa cukup tenang. Resign dua bulan yang lalu, membuatku cukup banyak waktu untuk dapat menghabiskan banyak waktu bersama para sahabat dan kedua orangtuaku. Para sahabat yang ada di Jogja, mereka teramat berarti untukku. Merekalah yang mendampingiku ketika aku terpuruk, dan mereka pula yang selalu mengamini segala mimpi-mimpi gilaku. Satu orang saja sudah bisa menjadi penyokong energi tambahan untuk mencapai segala mimpiku, apalagi banyak. Yah, itulah yang mereka lakukan untukku.

Ini bukanlah akhir, namun ini hanyalah awal. Pintu gerbang untuk mewujudkan mimpi-mimpiku yang lain. Dan aku semakin bersemangat untuk melakoni kehidupan baruku besok. Akan ada tulisan-tulisan baru yang siap kutorehkan dalam kertasku, dan akan ada cerita-cerita baru yang akan kuukir di lembaran kehidupanku. Senja dan fajar akan terus berganti, seiring dengan kehidupanku yang tak akan pernah sama di setiap waktunya.

Terimakasih Tuhan, aku bersyukur untuk segala berkat “berlebih” yang Kau berikan padaku!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s