Kurasa Jepang memang pantas disebut sebagai negara terdetail di dunia. Segala hal kecil sangat diperhatikan di sini. Beberapa bulan telah berlalu hidup di sini, aku mulai memahami cara pikir mereka. Betapa mereka sangat memperhatikan satu sama lain, namun di sisi lain mereka juga memiliki sifat yang saungat cuek.
Tokyo, sebagai kota terpadat di Jepang, memiliki mobilitas manusianya yang sangat tinggi, dan aku menjadi salah satu diantara mereka. Setiap hari berdesak-desakan di dalam kereta bersama mereka, dan setiap hari pula berjalan diantara padatnya pejalan kaki Shinjuku. Dari banyaknya perjalanan yang terlewati, ada hal-hal yang begitu menarik, hingga membuatku mau meluangkan sedikit waktuku untuk berpikir bagaimana cara orang Jepang berpikir.
Betapa nyamannya menjadi anjing, bayi, dan orang cacat di Jepang. Entah sudah berapa kali aku tertipu ketika di suatu sore yang cerah di akhir pekan kulihat seorang wanita, tua maupun muda berjalan sambil mendorong kereta yang nampak seperti kereta bayi. Kami berjalan saling berlawanan arah, dan betapa kagetnya aku ketika kami saling berpapasan, bukannya bayi yang kulihat, namun anjing yang kulihat di dalam kereta dorong itu. Anjing kecil yang begitu manis, duduk dengan santai didorong oleh si pemilik. Untuk pertama kalinya kulihat kejadian ini, aku begitu heran, bahkan tak percaya. Bagaimana mungkin anjing diperlakukan seistimewa itu. Sangat berbeda dengan negaraku. Sekaykayanya si pemilik anjing, tak ada yang memanjakan anjing peliharannya sampai sedemikian rupa.
Kutahu ada begitu banyak orang Jepang memang sangat menyukai anjing, hal ini terlihat dari seberapa sering kulihat orang Jepang yang mengajak anjing peliharaanya berwisata. Pernah suatu ketika aku mendaki gunung Takao yang tak terlalu jauh dari Tokyo, bersama dua orang kawanku. Ketika aku mulai berjalan, di sepanjang jalan aku bertemu dengan begitu banyak pendaki yang mendaki bersama anjing peliharaanya. Aku sudah tak heran lagi dengan pemandangan ini, namun hal yang sedikit membuatku tercengang adalah ketika kulihat si anjing duduk dengan nyaman di gendongan si pemilik. Yah, si pemilik menggendongnya persis seperti menggendong bayi manusia. Astaga, begitu beruntungnyakah anjing ini, hingga ketika dia lelah, dia bisa dengan santai beristirahat di gendongan si empunya? Atau anjing ini saja yang memang terlalu manja? Anjing yang dalam pandanganku selalu difigurkan sebagai penjaga rumah yang baik dan sebagai teman manusia yang setia. Setelah melihat kejadian ini, benar-benar langsung membuatku berpikir ulang. Aku termasuk orang yang menyukai anjing, dan aku ingin memelihara anjing ketika aku sudah memiliki rumah sendiri. Tapi tak pernah terpikir aku akan memanjakan anjingku sedemikian rupa. Dan semoga pendapatku ini dapat tetap bertahan meski aku akan tinggal beberapa tahun di sini.
Belum lama ini, kubaca di harian kompas online, Jepang baru saja mendirikan sebuah rumah sakit jompo untuk anjing. Rumah sakit ini menjadi satu-satunya rumah sakit jompo khusus untuk binatang. Di koran itu disebutkan bahwa ketika anjing sudah mulai tua, dan si pemilik merasa mulai kesulitan untuk merawat si anjing yang sudah mulai lemah, mereka bisa membawa anjing peliharannya ke sini. Anjing juga pantas mendapatkan pelayanan terbaik di hari tua mereka karena sudah begitu lama menjalani tugas sebagai teman manusia. Berita ini cukup membuatku kagum, namun juga sedikit merasa aneh, di negaraku saja hanya sedikit orang yang membawa orangtua mereka yang sudah sangat tua ke panti jompo, itupun tak akan jauh dari sebutan anak durhaka karena tak mau merawat orangtua sendiri, sedangkan di Jepang? Ok, aku mulai terbiasa dengan perbedaan budaya yang begitu mencolok ini.
Dari sebuah perjalanan, kita bisa mengamati berbagai macam karakter manusia yang kita temui. Ketika kulihat kenyataan di negaraku orang cacat tak dapat “menikmati” fasilitas umum yang ada, di sini yang kutemukan adalah tersedianya fasilitas khusus untuk penyandang cacat. Di setiap stasiun di Jepang, pasti terdapat lift. Bukan karena stasiunnya yang terdiri dari beberapa lantai, namun lift ini memang disediakan untuk penyandang cacat yang memakai kursi roda, penumpang yang membawa kereta bayi, dan untuk penumpang yang membawa banyak barang. Khusus untuk penyandang cacat, juga memiliki jalur khusus ketika memasuki peron. Mereka akan dibantu oleh petugas khusus stasiun, yang membawa papan peyambung yang dipasang ketika penumpang yang berkursi roda ini akan memasuki gerbong kereta, sehingga mudah dilewati. Penumpang berkursi roda ini juga tak perlu khawatir ketika akan turun di stasiun yang menjadi tujuan mereka. Di sana petugas kereta khusus sudah menunggu dengan papan yang siap dipasang ketika penumpang turun.
Selain itu, di tempat-tempat umum seperti stasiun dan taman juga memiliki toilet khusus untuk penyandang cacat dan untuk bayi. Toilet yang didesain sedemikian rupa, sehingga bisa digunakan untuk penyandang cacat dan untuk bayi.
Tak seperti di negaraku yang masih banyak ibu-ibu yang menggunakan kain gendong untuk menggendong bayinya, yang sering membuat kita kasihan ketika si ibu juga menggandeng anaknya yang lain yang masih kecil juga, belum termasuk barang bawaannya di dalam bus ataupun kereta yang nampak begitu kerepotan. Lagi-lagi, aku berdecak kagum dengan cara pikir masyarakat Jepang yang sangat modern. Fasilitas diciptakan ketika orang yang memerlukan fasilitas itu ada. Hampir semua orangtua di Jepang pasti membawa kereta bayi ketika bepergian bersama anaknya yang masih bayi. Selain orangtua tak perlu kelelahan ketika menggendong si bayi, si juga akan lebih aman dan nyaman ketika duduk di dalam kereta bayi. Ketika lelah, si bayi juga dapat tidar dengan nyenyak di dalamnya. Tak perlu khawatir ketika bepergian bersama si bayi menggunakan kereta. Selain terdapat lift khusus untuk kereta bayi, jarak antara kereta dan pembatas untuk menunggu kereta sangatlah dekat, sehingga mudah untuk mengangkat kereta bayi masuk ke dalam gerbong kereta. Semua menjadi mudah dan nyaman.
Saat aku pergi ke Disneyland beberapa waktu lalu, ketika hendak antri untuk menaiki sebuah wahana, kulihat rentetan kereta bayi terparkir di depan wahana tersebut. Kereta bayi yang dijaga oleh seorang petugas wanita, tersusun dengan rapi. Lagi-lagi kubandingkan dengan negaraku, dengan pengendara sepeda motornya yang selalu memenuhi tempat parkir hingga overload ketika akhir pekan tiba.
Akh, betapa kontrasnya ini semua. Baru beberapa bulan tinggal di sini saja aku sudah mulai mengeluh dan menjudge betapa buruknya fasilitas umum yang ada di Indonesia. Di sinikah letak perbedaan kualitas cara pikir antara negara maju dan negara yang masih berkembang? Padahal seingatku Jepang juga mulai bangkit dan mengasingkan diri untuk memulai membangun negaranya seusai Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur dibom Amerika pada Agustus 1945? Bukankah beberapa hari sesudahnya bangsaku juga mengikrarkan kemerdekaanya? Kalau dilihat dari waktu “kebangkitan” negaraku dan negara Jepang sama, tapi kenapa yang dihasilkan begitu berbeda? Atau mungkin karena wilayah negaraku yang terdiri dari banyak pulau, sehingga mempersulit pembangunan? Kurasa bukan juga, wilayah Jepang juga terdiri dari pulau-pulau yang memanjang dari utara ke selatan. Atau mungkin karena terlalu banyaknya perbedaan yang ada di dalam diri bangsaku sehingga sulit untuk diserentakkan?
Aku juga tak mau menjudge negeriku sebagai negeri yang buruk, karena di dalam segaala kekurangannya, aku juga sangat mengangumi segala kekayaan yang ada di negeriku yang tak akan pernah bisa kusebutkan semuanya, karena mungkin hanya 1% saja hal yang kutahu soal negeriku. Aku hanya sedikit membayangkan, kapan bangsaku juga bisa memiliki cara pikir seperti orang Jepang yang memperhatikan masyarakat yang “berbeda” keadaan.