Ketika seorang pria Indonesia lewat di depan kami hendak menuju ke toilet, kulirik Feli, yang langsung mengerti kemana arah pikiranku. Tak berapa lama, ketika si pria kembali dari toilet, kusapa dia. Tanpa basa-basi, kukatakan apakah kami boleh bergabung dengan rombongan mereka untuk mendaki Fuji. Dia dengan sangat ramah langsung menjawab “boleh”.
Jadilah aku dan Feli bersama 8 orang yang kesemuanya adalah pria, menjadi satu rombongan baru mendaki Fuji. Pukul 8 malam, dalam keadaan masih hujan deras, kami melangkahkan kaki pertama, memulai misi menyambangi titik tertinggi di Jepang. Dalam dinginnya air yang menerpa wajah, kuberdoa semoga Feli akan baik-baik saja terus. Yah, karena ini benar-benar perdana seumur hidupnya mendaki gunung, dan tak tanggung-tanggung langsung Fuji!
Kami berjalan dengan pelan, bukan hanya karena cuaca yang kami hadapi cukup ekstrem, namun juga karena banyaknya jumlah pendaki, baik yang akan naik maupun yang turun. Kulihat beberapa di antara mereka, kebanyakan bule-bule kulit putih yang mendaki hanya dengan kostum sepatu biasa, jaket satu lapis, celana jin, dan menggendong tas ransel kecil. Sebaliknya dengan pendaki orang Jepang, mereka benar-benar lengkap dari atas sampai bawah, dengan kostum sangat lengkap. Sedangkan aku dan Feli, kami di antara kedua jenis kostum para pendaki ini. Dibilang sangat lengkap juga tidak, dibilang tidak lengkap juga tidak. Aku menyebutnya cukup.
Di pos tujuh, kami berhenti untuk istirahat yang cukup lama. Cuaca tak kunjung membaik, ditambah dengan terpaan angin yang dinginnya luar biasa, membuat tubuh ini tak bisa berhenti bergetar. Ini adalah kali pertama dalam hidup, mendaki dalam keadaaan hujan. Randy, pria ramah dari Bandung itu, yang menjadi ketua tim kami, mengatakan pada kami bahwa kita akan stay di pos ini sampai nanti sekitar jam satu malam. Alasannya adalah jika kita tetap berjalan, akan terlalu dini sampai di puncak, dan di sana tidak ada yang bisa dilakukan selain duduk kedinginan hingga fajar tiba. Karena aku tak pernah mendaki Fuji sebelumnya, aku dan Feli manut saja. Kalau menurut situs resmi Fuji yang kubaca, perjalanan dari basecamp hingga puncak memakan waktu sekitar 6-8 jam. Kalau dipikir-pikir ya benar juga, berangkat jam 8, sampai sana antara jam 2-4, ya itu terlalu pagi. Namun bagiku, sebenarnya ya sama saja menunggu di sini sampai jam 1 dengan berdiam diri saja, sama saja dinginnya. Tapi berhubung dia kepala tim, dan kami cuma nebeng bareng mereka, ditambah dengan cara jalan kami berdua yang mungkin dianggap sangat lelet bagi mereka para pria, (atau mereka ada yang berpura-pura kuat padahal sebenarnya ngos-ngosan juga,? Entahlah) kita berdua ya ngikut saja.
Mondar-mandir jalan kaki, lompat-lompat kecil, jongkok, berdiri, berbagai macam gaya sudah kulakukan untuk mengurangi hawa dingin ini. Meski kami sudah ngobrol ngalor ngidul, waktu terasa berjalan begitu lambat. Ayo cepatlah jam 1, setidaknya kalau berjalan kaki, tubuh ini akan sedikit menjadi lebih hangat. Kuputuskan untuk duduk sejenak, kupandang langit dan ah…awan gelap mulai memudar! Terlihat ada setitik cahaya bulan di kejauhan sana. Memang hujan sudah mulai mereda, hanya tinggal gerimis kecil saja. Namun, aku sungguh berharap hari cerah hingga esok pagi.
Tak ada pemandangan istimewa sepanjang perjalanan kami dari basecamp hingga puncak. Tak seperti beberapa gunung yang pernah aku daki di Indonesia, yang memiliki pemandangan berbeda di setiap pergantian posnya, Fuji benar-benar gersang, hanya batu dan tanah yang sedikit licin karena hujan. Sepanjang jalan dipasang tali pengaman untuk berpegangan.
Perbedaan yang cukup signifikan antara Fuji (jalur Fujinomiya) dengan gunung yang pernah aku daki di Indonesia, di Fuji tidak ada tanah lapang untuk mendirikan tenda, yang ada hanyalah pondokan kecil yang jika ingin menginap di sini, harus booking beberapa bulan sebelumnya. Dan harganya, waow….mahal untuk ukuran pondok. Tapi maklumlah, ini di atas gunung, untuk membangunnya saja pasti susah, belum lagi perawatannya.
Hanya ada beberapa bangku kecil di luar pondokan yang bisa dipakai pendaki untuk beristirahat sejenak. Selama musim pendakian, pondokan menyediakan toilet, ada yang bayar, tapi ada juga yang gratis bagi para pendaki umum. Jujur kalau aku pribadi lebih senang dengan gunung di Indonesia, pakai sistem toilet terbuka alias nyari semak-semak untuk buang air. Selain tak berbekas, itung-itung kita juga ikut andil bikin subur tanah *eh. Daripada toilet duduk di Fuji tapi… akh…sudahlah aku tak ingin menjelaskannya, terlalu mengenaskan. Tapi ya mau bagaimana lagi, di Fuji tak ada semak-semak, hanya ada tanah gersang berbatu. Ya kalau pede sih bisa ngumpet-ngumpet di balik batu besar. Tapi harus hati-hati karena jika ketahuan mungkin akan ditangkap polisi gunung karena dianggap pipis sembarangan dan mengotori tanah Fuji.
Lalu bagaimana dengan nasib para pendaki jika kelelahan, kedinginan dan butuh tempat berlindung ketika hujan menerpa? Ya tidak ada pilihan lain selain berjalan terus atau kembali ke bawah. Fuji hanya untuk pendakian pulang dan pergi begitu saja, bukan untuk camping ceria bikin api unggun depan tenda sambil menikmati segelas kopi panas. Yah, kecuali kalau mau bayar lebih untuk nginep di pondokan, dimana mereka juga menyediakan makanan dan minuman enak serta futon hangat.
Sekitar pukul 5 pagi kami tiba di pos 9. Kami memutuskan untuk menunggu hingga matahari terbit di sini. Semburat-semburat warna oranye mulai muncul dari balik punggung Fuji. Kabut mulai tersingkap, dan awan mendung mulai menghilang. Kulihat Feli yang sudah seperti zombie (dia memang selalu nampak seperti itu, no expression girl), aku mulai khawatir. Kehujanan semalaman, kedinginan, dan tak makan. Semoga dia masih sanggup hingga ke puncak yang hanya tinggal di depan mata.
Rendy sudah dalam posisi siap, menanti sang mentari muncul. Perlahan, dan akhirnya sang surya menampakkan sinarnya yang indah. 17 Agustus 2014, pos 9 gunung Fuji, di sinilah sunrise pertamaku di Jepang. Sekian tahun aku ingin bisa mendaki gunung saat hari kemerdekaan, namun kesempatan itu tak pernah datang (karena pasti selalu kebagian tugas jadi tim kur upacara bendera di kampus). Kini, justru secara tak terduga dan tak terencana, mimpi itu terwujud dengan sendirinya. Bersama dengan orang-orang baru yang juga secara tak terduga bertemu dengan mereka.