Hattori Nutrition College

Satu semester telah berlalu, dan pada akhirnya aku memang harus menentukan sikap mumpung belum terlambat. Keinginan untuk bisa menimba ilmu di Jepang sudah terwujud. Tujuanku dulu hanyalah untuk memperlancar kemampuan bahasa Jepang. Namun, ketika kesempatan itu datang, aku sendiri tidak benar-benar belajar dengan baik ketika di sekolah bahasa. Memang, kemampuan bahasa Jepangku sekarang sudah sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan sebelum aku masuk di sekolah bahasa. Namun, seandainya ketika di sekolah bahasa kemarin aku lebih rajin lagi, mungkin sekarang aku tidak akan kesulitan seperti ini. Yah, ada sedikit rasa penyesalan meski tak ada efek yang sangat buruk dengan nilai-nilaiku selama belajar di college. Tak terlalu bagus, namun juga tak terlalu buruk. Cukup saja.

Tak pernah mempersiapkan segalanya dari awal, suka dadakan, seperti sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Segala hal yang terjadi dalam hidupku terlalu banyak karena faktor keberuntungan. Tak ada bakat luar biasa yang aku miliki, tak ada pula hal yang sangat menonjol yang bisa menjadikanku teladan untuk orang lain, semuanya biasa saja, hanya rata-rata. Namun, dengan segala faktor keberuntungan yang kumiliki itu, tak jarang membuat orang iri padaku. Dan di situlah beban itu berada.

Satu semester telah terlewat, dengan status sebagai siswa culinary school. Aku tahu sejak awal, pasti akan ada banyak orang yang bertanya kenapa aku mengambil jurusan masak, di Jepang. Sayangnya, aku juga tak memiliki jawaban pasti, karena tujuan awalku memang hanya untuk memperlancar kemampuan bahasa Jepangku demi mendapatkan pekerjaan yang lebih baik kelak. Syukur-syukur di kedubes Jepang.

Namun, ketika pilihan lain muncul di depan mata, seketika tujuan yang sudah dirancang dari awal pun berubah mendadak. Pikiran untuk memilih culinary muncul begitu saja. Dulu, sebelum lulus SMA, memang sempat terpikir untuk mengambil perhotelan atau culinary school, segala yang masih berbau pariwisata dan hospitality. Namun, pikiran itu menjadi pilihan terakhir jika aku tak bisa menembus universitas negeri mana pun. Ditambah lagi dengan pesan emak bapak yang selalu berkata “kalau bisa….ya di universitas negeri saja”. Tak memaksa, namun sering diomong. Aku anggap itu cara halus mereka untuk mengarahkanku. Dan pada akhirnya, aku benar-benar “terdampar” di universitas negeri, jurusan bahasa Jepang. Jurusan yang memang lumayan menarik minatku setelah hubungan internasional.

Ketika sudah lulus, secara alamiah pikiran untuk bekerja di bidang pariwisata pun muncul kembali, yang akhirnya membuatku menolak sekaligus ditolak berbagai macam jenis pekerjaan kantoran, dan memilih menjadi staf NGO di Belitung. Keputusan yang mengubah begitu banyak jalan hidupku kemudian. Ketika aku berhasil keluar dari Belitung beberapa bulan kemudian, secara tak sengaja aku bertemu dengan seseorang yang akhirnya mengubah jalan hidupku lagi. Yah, aku memutuskan menjadi mbak-mbak kantoran (sekretaris) di sebuah perusahaan Indo-Jepang. Jenis pekerjaan yang selalu aku hindari sejak dulu. Hambatan, jelas ada banyak. Tapi masih kuanggap normal selama aku masih bisa menikmati weekend dengan tidur dan membaca novel sepanjang hari. Tak ada yang salah dengan pekerjaan maupun orang-orangnya. Namun, tetap saja pikiran untuk “kabur” menuju kebebasan memilih apa yang benar-benar kukehendaki terus muncul. Pikiran untuk bisa ke Jepang masih saja ada. Hingga akhirnya keberuntungan itu tiba, secara tidak sengaja. Sampai sekarang aku bahkan masih tak percaya bagaimana mungkin aku bisa lulus ujiannya. Bagiku, Monbu terlalu sulit digapai untuk kemampuan otak yang jauh dari kata genius sepertiku. Kurasa Tuhan sudah cukup berbaik hati padaku!

Sejak SD hingga kuliah, aku selalu belajar di institusi pendidikan umum, negeri, dengan jurusan umum pula. Aku ingin sedikit berganti haluan. Ketika pilihan culinary muncul dalam jurusan yang mereka tawarkan, tanpa pikir panjang aku langsung memilihnya. Meski sebetulnya jurusan management travel juga cukup menarik minatku. Culinary, setidaknya aku tak akan terlalu terbeban dengan pelajaran teori, begitu yang kupikirkan saat itu.

2 April 2014 aku resmi menjadi murid Hattori Nutrition College. Ada perasaan haru ketika aku duduk di deretan sesama murid-murid baru yang sudah pasti orang Jepang. Tak percaya, orang asing gagap baca kanji macam aku bisa menembus sekolah umum di Jepang. Akh, keberuntungan macam apa ini. Atau justru ini yang akan “menjerumuskanku” ke masalah yang lebih besar lagi mengingat bekal yang kupunya hanya satu tahun di sekolah bahasa. (Kuanggap universitas tak banyak memberikanku ilmu (bahasa Jepang). Sakit memang jika menyadari kenyataan bahwa ilmu yang diberikan sekolah bahasa selama satu tahun jauh lebih baik ketimbang tiga tahun belajar bahasa Jepang di universitas.

Akhirnya, pertempuran yang sesungguhnya pun dimulai. Perasaan khawatir dan takut terus menghantui di awal-awal sekolah. Takut tak paham dengan materi pelajaran, takut tak paham dengan ucapan sensei, dan takut tak dapat bergaul dengan teman sekelas. Kupikir aku akan menjadi satu-satunya manusia planet lain di kelas. Namun kenyataanya, dari 48 murid, 15 di antaranya adalah orang asing yang secara penampilan nampak seperti orang Jepang (China, Taiwan, Korea, Mongolia). Aku si wanita tak berkulit putih dan tak bermata sipit menjadi yang paling jelas bahwa aku manusia dari belahan bumi lain.

6 bulan berlalu sejak aku memasuki dunia perkulineran. Aku yang hanya bermodal senang makan dan kadang-kadang masak makanan kesukaan sendiri di rumah, tak mengerti sama sekali ilmu tentang makanan dan sebangsanya. Apa itu Washoku (Japanese food), Chuuka (Chinese food), Seiyou (Western food), dan Patisserie (Bread, pastries). Aku tak ada ilmu sama sekali. Semuanya baru aku tahu ketika sudah masuk kelas. 2 bulan awal bahkan aku masih tak bisa membaca huruf kanji bumbu-bumbu dasar seperti jahe, shoyu, mirin, dan berbagai macam jenis sayur dan buah. Bagaimana aku bisa membaca resep jika kanjinya saja tak bisa kubaca! Belum lagi pelajaran teori di kelas dari mulai nutrisi hingga bakteri dan virus. Terakhir kali aku belajar Biologi adalah kelas satu SMA atau sekitar 8 tahun lalu! Tak ada yang berbekas di ingatan selain istilah empat sehat lima sempuna.

Seandainya aku disodori terjemahan bahasa Indonesianya sekali pun, aku tak akan paham hanya dengan sekali membaca. Terjemahkan kanjinya, cari arti perkatanya, pahami kalimatnya, dan terakhir hafalkan isinya, itu yang kulakukan menjelang ujian semester. Entah karena faktor usia atau otakku yang sudah terlalu lama mengendap tak dipakai untuk berhafal, aku merasa tak mampu. Dan akhirnya, ada beberapa mata pelajaran yang mengharuskanku mengulang. Dengan kata lain, mau tak mau sisa libur musim panasku diisi dengan membaca ulang materi pelajaran yang sudah langsung membuatku keriting sejak halaman pertamanya kubuka. Pada akhirnya, aku bisa lulus. Dan bagiku adalah anugerah yang tak terkira bisa belajar dan lulus dari college dengan full bahasa Jepang.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s