Mabok Daikon

25 February 2016

Sungguh tak terasa hampir 2 tahun berlalu aku tinggal di sini dan aku masih “hidup”. Aku sudah terbiasa dengan makanannya, dengan crowded-nya rush hour  Tokyo, dengan kehidupan yang tak mengenal waktu, dan dengan segala kepenatan yang ada. Jepang dalam bayanganku dulu sangat jauh berbeda dengan yang kurasakan sendiri sekarang. Dan satu poin yang kudapat, cita-cita untuk bisa hidup di sini sudah tercapai. Lalu apa lagi? Aku semacam kehilangan arah hendak ke mana, mau apa, dengan siapa, semuanya mentok.

Sekolah masak memang sempat terpikir olehku dulu seandainya aku tak lolos ujian masuk universitas negeri. Dan kenyataanya, aku lulus ujian masuk UGM. Lulus dari universitas negeri sudah terlampaui, dan kini sekolah masak pun sedang kujalani. Ketika kedua hal ini sudah tercapai, mau diapakan lagi, aku sungguh tak memikirkannya sama sekali, alias tak ada plan B, C, apalagi D. Cita-cita menjadi seorang chef tak pernah terlintas di benakku sama sekali. Aneh bukan, bercita-cita sekolah masak, namun tak ingin menjadi seorang chef. Hanya tinggal setahun lagi sebelum aku lulus, dan aku masih merasa tak pantas untuk mengambil profesi menjadi seorang chef. Pengetahuanku terlalu cetek, banyak hal yang tak aku ketahui tentang dunia perkulineran. Kemampuanku merawat pisau pun masih sangat buruk. Padahal nyawa seorang chef ditentukan oleh seberapa tajam pisaunya. Sharp and clean. Kudu, wajib! Dan hal terbodoh yang pernah kulakukan adalah merusak sendiri wabocho-ku karena tak tahu cara mengasah yang benar! Dan itu ketahuan 2 bulan sebelum ujian semester!

Cerita berawal ketika aku bekerja paruh waktu di sebuah Hawaiian restoran bernama Tiki-Tiki. Restoran ini cukup besar, muat hingga 300 tamu. Untuk restoran sebesar ini, tentu saja dapur yang mereka miliki juga cukup besar. 7 orang jumlah staf untuk dapur, termasuk aku di dalamnya. Dapur ini dibagi ke dalam 4 bagian, yaitu bagian steak yang dipegang oleh chef utama, bagian zensai (appetizer) and deza-to (dessert), bagian ageba (frying), dan terakhir adalah bagian suto-bu (grilling). Dan aku, mengisi posisi frying, dan menjadi satu-satunya wanita di posisi ini. Yah, mungkin karena sudah tidak ada tempat lagi untuk bagian dessert.

Bukan karena kebetulan aku bekerja di restoran ini, namun karena aku dikenalkan oleh seorang temanku, sesama orang Indonesia yang sudah lebih dulu bekerja di sini namun di bagian hall sebagai pengantar makanan. Entahlah ini yang dinamakan jalan Tuhan atau memang hanya kebetulan belaka, 2 di antara semua staf kitchen itu adalah lulusan sekolahku, Hattori! Aku yang sedang mencari pekerjaan paruh waktu untuk posisi kitchen supaya aku bisa belajar mempraktekan ilmu yang sudah kupelajari di sekolah, dan sekarang aku mendapatkannya, dan mereka adalah senpai-ku! Sungguh kebetulan yang luar biasa.

Ada Sugiyama san, lulusan Hattori sekitar 12 tahun lalu, dari jurusan nutrisi. Dia mengisi di bagian grilling. Sangat ramah, tak pernah marah, namun cukup cerewet jika sudah menyangkut hal-hal detail apalagi soal kebersihan. Apapun yang kulakukan tak pernah luput dari komentarnya. Dan dia seringkali menyimpang dari resep yang sudah ditentukan, alias sakarepe dhewek, sesuai dengan teorinya. Ada suatu ketika adonan untuk membuat onion ring telah habis. Kubuka buku resep untuk melihat takarannya air dan jumlah tepungnya. Disitu tertulis air 250 gr dan tepung 250 gr. Namun, ketika aku sedang membuatnya tiba-tiba Sugiyama san lewat lalu berkata bahwa aku harus menambah jumlah tepungnya menjadi 290 gr karena itu terlalu encer. Ok, berhubung aku hanya pekerja paruh waktu yang tak tahu apa-apa, kupatuhi saja apa katanya. Dan belum lama ini, kulihat takaran resep untuk tepung onion ring berubah menjadi 340 gr ditulis dengan tangan.

Pernah pula suatu ketika aku selesai menggoreng ayam saus, saat aku sedang meletakkan oil paper di atas piring, tiba-tiba Sugiyama san berkata untuk tak perlu memakai oil paper sebagai alasnya dengan alasan akan membuat lengket. Langsung ditata seperti itu saja. Padahal di buku  resep terpampang jelas di gambarnya menggunakan oil paper sebagai alasnya. Berhubung dia yang lebih senior, anak nutrisi pula, aku tak bisa berbuat apa-apa selain menurut saja.

Lalu, ada namanya Masuda san, dia adalah satu dari dua chef utama di restoran ini. Usia dia 36 tahun, lulus dari Hattori sekitar 18 tahun lalu. Tinggi, ganteng, sedikit bicara, dan doyan marah-marah, tapi dia akan berubah menjadi ramah dan menyenangkan ketika usai jam kerja atau saat makan bersama. Mungkin inilah yang disebut dengan profesional. Kesan pertamaku dengannya adalah dia sangat dingin.

Aku datang dengan muka tak mengerti apa-apa karena ini adalah pekerjaan pertamaku di dapur. Banyak hal yang tak kutahu, membuatku takut membuat sebuah kesalahan. Dia langsung mengajariku hal pertama yang harus dilakukan ketika masuk dapur adalah cuci tangan. Semua sela-sela jari harus dibersihkan, termasuk kuku, dan itu dilakukan sebanyak 2 kali. Sesudah itu, semprot kedua tangan dengan alkohol,  keringkan, lalu pakai sarung tangan karet. Sebenarnya cuci tangan seperti ini sudah bukan menjadi hal asing bagiku karena ini adalah hal wajib untuk seorang tukang masak, dan itu pun yang kami lakukan di sekolah sebelum praktek. Bedanya hanyalah di sekolah kami tak mengenakan sarung tangan.

Tugas pertamaku adalah mengupas kulit udang untuk menu garlic shrimp. Aku yang dihari pertama langsung masuk di akhir pekan, lansung disambut dengan deretan paket party, membuat semua orang sangat sibuk dan aku hanya menjadi seorang personil tambahan yang terkadang dicuekin. Aku ditempatkan di posisi ageba. Tugasku adalah membuat segala menu yang digoreng. Mulai dari fried poteto, fish&chips, smoked salmon, onion ring, orange chicken, garlic shrimp, hingga shrimpmaki. Hari pertama bekerja langsung disambut dengan kondisi seramai ini, dan aku tak tahu apa-apa. Mereka juga tak bisa maksimal mengajariku, berjam-jam berada di depan meja penggorengan, kakiku serasa melayang ketika pulang. Soooo tiredddd. Sungguh weekend yang buruk, dan ini terus berlanjut dihari-hariku yang selanjutnya.

Aku mulai bekerja di restoran ini sejak awal Oktober, dimana bulan sibuk-sibuknya sekolah karena kami harus mempersiapkan diri untuk festival sekolah dan kougai jisshu (praktek kerja lapangan di restoran atau di hotel). Baru beberapa kali, aku masih merasa belum klik dengan tempat ini. Baik dari segi orang-orangnya yang entah kenapa mereka nampak tidak ramah, dan dari segi pekerjaan yang entahlah, ini sulit dijelaskan semacam belum ada feeling.

Setelah melalui berbagai macam pertimbangan, akhirnya keinginan untuk berhenti pun muncul. Alasan pertama adalah bulan november aku sama sekali tidak bisa bekerja karena selama festival sekolah berlangsung kami harus berangkat pagi dan pulang sore untuk mempersiapkan segala bahan dan membuat adonan. Yeah, aku kebagian untuk bertugas di bread studio dengan menu meronpan dan choco brownie. Sesungguhnya aku mendaftar untuk washoku studio, namun karena jumlah pendaftar terlalu banyak, akhirnya diadakan undian dan aku kalah. Mau tak mau aku harus pindah ke studio lain, dan hanya bread  studio yang masih cukup lowong untuk dimasuki.

Bread studio cukup dihindari oleh anak-anak karena yang paling banyak menghabiskan waktu untuk persiapan, dan di hari H kami harus datang jam 5 pagi untuk membuat adonan! Bahkan lebih pagi dari kereta pertama yang lewat rumahku. Tapi tak apa, toh akhirnya aku bisa belajar banyak untuk membuat sebuah adonan yang enak dan tahu resep rahasia meronpan Hattori 😉 . Alasan kedua adalah selama kougai jisshu berlangsung kami diwajibkan untuk mengosongkan jadwal part time karena ini adalah tugas sekolah. Dan alasan ketiga adalah aku cukup tahu diri. Belum genap satu bulan bekerja, masih belum tahu banyak hal, namun jika harus minta ijin hingga satu bulan, aku pikir itu adalah hal yang tak bertanggung jawab.

Selain itu, aku sebenarnya berharap bisa bekerja di washoku restoran karena aku ingin belajar lebih banyak tentang Japanese food. Namun, jika ditanya alasan utama kenapa ingin keluar adalah karena aku belum betah bekerja di restoran ini. Semua alasan ini hanyalah alibi atau alasan yang dibuat menjadi alasan utama demi agar nampak lebih alami sehingga alasanku untuk keluar cukup kuat.

Akhirnya, kuberanikan diri di akhir bulan oktober menemui chief dan mengatakan hendak berhenti. Namun, sesuatu yang tak terduga dan sama sekali tak kupikirkan olehku pun terjadi. Jawaban chief sungguh mengejutkan. Begini katanya “ngga keluar juga ngga papa kok. Mulai kapan kamu ga sibuk? Habis urusanmu selesai kamu bisa balik sini lagi”. “Tapi saya masih baru, memang tak masalah saya ijin satu bulan? jawabku setengah terbata. “Tak masalah karena kamu anak sekolah, jadi saya sangat memahami kegiatanmu itu karena sekolah adalah prioritas.” What? aku sungguh tak tahu harus menjawab apa.

Aku semacam kehilangan kata-kata karena ini sama sekali diluar prediksiku. Dengan berusaha tersenyum kujawab mulai bulan Desember. “Ok, kalau begitu nanti akhir november saya hubungi kamu lagi untuk atur jadwal lagi”. Aku keluar dengan sedikit penyesalan. Kenapa tak kukatakan saja secara blak-blakan saja kalau aku hanya ingin keluar. Itu saja, titik. Tanpa perlu bumbu-bumbu alasan berbelit tentang sekolah. Akhirnya, aku pasrah. Berharap Tuhan punya rencana lain kenapa aku “dilarang” pergi dari restoran ini. Dan jawabannya kutemukan sebulan kemudian, ketika semua orang tak lagi sama seperti kesan pertama yang kudapatkan.

Usai break selama satu bulan dari part time, awal Desember tepatnya 3 hari menjelang libur winter, aku kembali bekerja di restoran ini. Selama break aku berusaha mencari tempat part time baru di washoku restoran, dengan pemikiran aku akan bertahan di restoran ini untuk sebulan atau dua bulanan, sesudah itu berhenti dan full di Japanese restoran. Namun, semua pemikiran ini berubah semenjak hari pertama masuk usai libur.

Dengan perasaan sedikit was-was aku masuk ke dapur. Wajah pertama yang kulihat adalah chief, yang dengan ekspresi sumringahnya menyapaku “ohh..Titis chan, ohayou!” dan satu persatu dari mereka pun menyapaku, termasuk Masuda san. “Ohayou, hisashiburi da! Kougai jisshu dou datta? Tanoshikatta? Okorareta?” (Pagi! Lama gak ketemu. Gimana praktekmu? menyenangkan? dimarahin ga?) Sugiyama san, Takahashi san pun menyapaku dengan sangat ramah. “Genki? hisahiburi da” Aku yang baru masuk ini justru malah merasa aneh dengan perubahan ekspresi semua orang. Dan ini berlanjut hingga sekarang, membuatku mulai menyukai tempat ini.

Perlahan keinginan untuk berhenti pun hilang. Meski kadang sesekali Masuda san tetap suka marah-marah jika aku berbuat salah sedikit saja, aku ikhlas-ikhlas aja. Namanya juga belajar. Justru semakin dia banyak ngomel, aku semakin suka karena dia nampak makin keren, hahahaha.. 😀 .Dan meski aku juga masih sering kena omelan bukan karena kesalahanku gegara berada di waktu dan tempat yang salah, aku tetap menyukai tempat ini.

Hanya melalui beberapa kali obrolan disaat makan, aku pun sudah cukup akrab dengan semua orang, termasuk Masuda san. Obrolan mengenai sekolah adalah hal yang paling sering kita bicarakan. Yah, baginya ini semacam nostalgia. Dan ketika dia bercerita mendapatkan 4 macam lencana tanda berhasil lulus untuk tes mid semester, dari situ aku bisa tahu kalau dia memang berbakat. Melihat kondisiku sekarang yang hanya memiliki satu jenis lencana, aku merasa sangat bodoh. Yah, memasak memang tugas seorang wanita di dapur, namun jika sudah bicara soal keterampilan, percayalah wanita tak akan pernah bisa mengalahkan kemampuan pria.

Pembicaraan berlanjut hingga keluhanku yang masih saja belum bisa katsuramuki (ketrampilan mem-peeling daikon/japanese radish menjadi setebal 1mm menggunakan wabocho/Japanese knife) padahal ujian semester hanya tinggal 2 bulan lagi. Entah sudah berapa kali latihan masih saja belum ada perubahan yang cukup signifikan. Usut diusut, kemungkinan permasalahannya hanya ada 2 yaitu pisau, atau tanganku sendiri. Masuda san ingin melihat kondisi pisauku. Di pertemuan selanjutnya, kutunjukkan pisauku padanya, dan betapa terkejutnya aku ketika dia berkata pisauku perlu perbaikan paling tidak 6 bulan! Oh my gosh, seberapa parahkan pisauku? Sampai segitunya kah aku tak bisa merawat pisauku? Ujian semester tak kurang dari 2 bulan lagi, bagaimana dengan nasib ujianku?

Masuda san mulai menjelaskan kalau Japanese knife berbeda dengan Western dan Chinese knife. Kedua pisau itu diasah dan bentuk mata pisau ditentukan oleh kita sendiri. Tapi Japanese knife, bentuk sudut dan mata pisaunya sudah ditentukan, dan jika berubah sedikit saja, sudah dipastikan pisau itu tidak akan bisa dipakai. Seperti nasib pisauku sekarang. Bentuk mata pisauku sedikit melengkung, dan aku tak menyadari itu.

Setelah 8 bulan menjalani ilmu permasakan ini, akhirnya aku pun tahu, aku masih bodoh. Pisau yang menjadi nyawa seorang chef, dan aku yang mengaku ingin mengambil speciality Japanese food, bahkan tak mengerti dengan kondisi pisauku sendiri. Ini benar-benar tamparan buatku. Dan lebih tertampar lagi ketika keesokan harinya kutanyakan tentang fakta ini ke beberapa teman, dan mereka tahu. Owh, detik itu juga aku merasa menjadi orang terbodoh sepanjang masa.

Kalau bukan karena kebaikan hati Masuda san yang mau meminjamkan pisaunya untukku, bahkan setelah aku sempat merusakkannya gegara salah mengasah lagi, mungkin aku tidak bisa lulus di ujian katsuramuki. Setelah mengalami mabok daikon setiap hari, dan lusinan daikon terbuang karena tak ada siapa pun lagi yang sanggup membantuku memakannya, akhirnya aku berhasil lulus ujian dengan hasil peeling sepanjang hampir 2 meter dalam waktu 7 menit! Itu pencapaian terbaikku selama ini. Dan jika ditanya bagaimana nasib pisauku sekarang? Hmm…masih belum sembuh! Nampaknya aku akan membeli pisau baru untuk sementara waktu.

Hari terakhir bekerja di Tiki-Tiki

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s