Memiliki partner buat jalan-jalan merupakan hal yang umum. Sebuah perjalanan akan terasa lebih hidup kalau kita punya teman yang bisa diajak ngomong, bisa diajak diskusi menentukan rute perjalanan, termasuk bisa diajak nangis bareng ketika nyasar.
Sudah lama aku ingin menuliskan ini. Salah satu teman terabsurd yang pernah kumiliki. Aku sering memanggilnya Zombie, dan dia menyebut dirinya Mak Lampir. Alasannya simple, dia hanya hidup di malam hari. Dia aktif dari malam hingga dini hari, lalu tidur di siang hari. Kalau lagi kumat, dia bisa tidur hingga hari berikutnya, alias 24 jam! Skip makan, minum, sekolah, dan kerja. Dan ketika dia bilang “Aku mau off dulu” itu artinya dia akan hibernasi hingga waktu yang tak dapat ditentukan. Terserah dia mau bangun kapan. Kalau lagi mood bercanda dia hanya akan bilang “Sampai pangeran berkuda putih datang dan menciumku, aku baru bisa bangun”. Aku tidak tahu sejak kapan aku memanggilnya seperti itu, mungkin semenjak aku tahu kalau dia adalah salah satu manusia paling setrong di dunia. Kalau orang biasa bisa survive tanpa makan yang penting minum, nah dia ini malah kebalikannya. Dia bilang kalau air putih itu ga enak. Selesai makan, belum tentu dia minum. Dan dia baik-baik saja. Hal lain yang membuatnya “unik” adalah dia salah satu teman yang paling sering membuatku ngomong “Hah, kamu serius? Pikirin lagi!!”
Aku hanya akan menceritakan salah satu kisah perjalanan “terbaik” dengannya. Baru beberapa bulan lalu terjadi, saat liburan musim dingin.
Aku sudah mengatakan pada kedua sahabatku ini kalau aku akan pergi ke Italy, akhir tahun ini. Bukan perjalanan yang direncanakan jauh-jauh hari. Semuanya terjadi hanya karena iseng browsing tiket murah, dan kulihat tiket ke Italy yang begitu murah, nekad saja kuklik dan akhirnya terbooking. Saat itu cuma mikir mumpung murah, kapan lagi bisa ada tiket ke Eropa cuma 5juta pp. Sama sekali belum terpikir untuk urusan uang saku, akomodasi, dan masalah visa, hingga itenary. Intinya, aku mau pergi ke Italy.
Hingga menjelang bulan oktober, aku sudah mulai memikirkan hendak kemana saja, dan hal apa saja yang mesti kusiapkan. Dan aku sudah memutuskan untuk pergi sendiri. Karena dari awal aku tahu, tak ada orang yang bisa kuajak pergi, lebih tepatnya pasti tidak ada yang mau. Hingga menjelang akhir november, sebuah pesan singkat datang. Dari si Mak. Begini bunyinya “Tis, aku mau ikut kamu ke Eropa” Jrengjrengjreng, ini anak mulai kumat kayaknya. Hanya kubalas “Serius? Aku dah apply visa lho” Singkat cerita, dialah yang menjadi partnerku selama di Eropa.
Apa yang membuatku terkagum-kagum adalah kenekatannya untuk bolos sekolah demi ikut aku pergi ke Italy. Sekolahnya baru mulai libur dari tanggal 24 Desember, dan dia membeli tiket untuk keberangkatan tanggal 21 Desember, bahkan lebih cepat satu hari dariku! Alasannya hanya satu, kalau tanggalnya diubah, tiketnya jadi mahal. Dan yang lebih parah lagi, baru kutahu ketika kami sudah di Italy, kalau dia harus ngumpulin tugas untuk tanggal 23. Salah satu yang membuat tasnya cukup berat adalah dia membawa setumpuk buku tugasnya untuk dikerjakan selama di Italy, katanya mau dikirim via pos. Dan tentu saja, itu hanya wacana. Tak sekalipun kulihat dia menyentuh buku tugasnya, hingga hari terakhir perjalanan kami.
Kalian tahu, apa yang menjadi alasan utama si Mak tetiba pengen ikut aku berlibur? Pengen kabur katanya. Kabur dari kenyataan kalau dia punya setumpuk tugas yang harus dikerjakan, dan tanggungjawab kerja part time di hari libur. Dia pengen merefreshkan diri dari penatnya kehidupan Tokyo. Lumayan bisa lihat bule, dan sedikit absen ga perlu ngomong bahasa alien, dan ga perlu liat huruf kanji. Aku sih cuma ketawa pas dia ngomong gitu. Karena lari dari kenyataan sudah menjadi semacam hobby untuk kami. Masih kuingat jelas ketika suatu hari dia pernah berkata kalau dia pengen ngumpulin uang buat persiapan S2. Alasannya kenapa, karena dia gak pengen kerja. S2 atau menikah menjadi jalan satu-satunya untuk kabur dari kenyataan ini. Namun nyatanya, akhir-akhir ini pikirannya berubah lagi. Tak mau sekolah lagi. Lelah katanya. Tapi mau nikah juga ga ada pasangannya. Biarkan Tuhan membawa kemana sesudah ini, katanya. (Akhir-akhir ini dia rajin ke gereja :D)
Meskipun kami berlibur bersama, namun kami tidak berada di pesawat yang sama dari berangkat hingga pulang. Karena dia tidak menemukan tiket yang cukup murah untuk keberangkatan yang sama denganku. Jadilah dia naik Qatar Air, dan aku Aeroflot. Yang sedikit disayangkan dari perjalanan ini adalah seandainya si Mak ga ngomong dadakan, aku bisa memesan kamar yang sama untuk kita berdua (ngirit). Dengan persiapan yang serba mepet, akhirnya dia bisa memesan hotel yang sama denganku, namun dengan harga yang berbeda. Yup, dia jauh lebih mahal. Kami hanya terpisah saat kami berada di Venice.
Biarpun si Mak bukan tipikal orang yang senang jalan-jalan, namun aku senang dengan kenekatannya untuk ikut denganku padahal dia sama sekali tidak ada ketertarikan dengan Eropa, kecuali Inggris. “Terserah Titis mau kemana, aku ngikut” begitu yang dikatakannya padaku sebelum berangkat. Belum lama ini dia baru saja mengatakan kalau dia pengen jalan-jalan keluar negeri lagi setelah membuka lagi foto-foto saat di Italy. Hanya kujawab “Ya udah, akhir tahun cuss yuk”. Lalu hanya dijawab “Impossible”. Let`s see….
One thought on “Si Mak”