Jika anak jaman sekarang baru bisa masuk SD setelah berusia 7 tahun, berbeda dengan jamanku dulu. Aku masuk kelas 1 SD saat usiaku masih 5 tahun. Entahlah itu karena aturan jaman dahulu tak seketat aturan jaman sekarang, atau karena ibuku adalah guru disitu sehingga ada sedikit “kebebasan” untuk memasukanku di usia sedini itu. Akh, mengingatnya aku merasa tua sekali saat ini.
Aku merasa senang ketika kutahu ibuku tidak mengajar di kelasku. Yah, kalau boleh jujur ibuku terkenal sebagai guru yang galak dan sangat disiplin. Banyak orang takut padanya, sehingga dia selalu diberi jatah untuk mengajar anak kelas 5 ataupun 6. Aku, sebagai anaknya yang setiap hari bersamanya kuakui dia memang sangat galak. Aku masih ingat ketika aku dan mbak Lia bertengkar, bukannya melerai kami berdua ibu malah mencubit paha kami hingga berwarna abu. Tentu saja kami langsung menangis saat itu, tapi itulah jurus andalan ibu untuk melerai kami dari pertengkaran.
Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran ibu saat itu, tapi aku hanya merasa mungkin itulah cara mendidik aku agar menjadi anak yang berani dan mandiri. Bahkan sebelum aku mulai masuk sekolah, aku sudah sering ditinggal sendirian di rumah. Bapak, ibu dan mbak Lia sudah meninggalkan rumah sebelum pukul tujuh pagi, membiarkanku sendirian hanya dengan si Bleki angjingku kala itu. Yah, meskipun tempat bekerja mereka tak jauh dari rumah, tetap saja aku merasa sendirian.
Hal yang paling membuatku takut saat di rumah sendirian adalah jika ada orang gila. Rumahku tepat berada di tepi jalan raya, dan memiliki halaman yang cukup luas. Saat itu, aku sedang duduk santai di kursi ruang tamu. Tanpa kusadari, tiba-tiba kulihat ada orang gila masuk ke halaman rumahku, lalu menempelkan wajahnya di kaca ruang tamu. Sontak aku lansung berteriak dan lari ke dalam kamar, lalu sembunyi di kolong kasur. Aku bahkan sampai lupa untuk mengunci pintu depan. Di bawah kolong aku terus berdoa “Jangan biarkan orang gila itu masuk ke dalam rumah ya Tuhan, aku takut”. Untungnya orang gila itu tak benar-benar masuk sampai ke dalam rumah, dia hanya berdiri di teras kemudian pergi lagi. Kejadian seperti ini beberapa kali terulang hingga aku lulus SD.
Layaknya anak-anak SD pada umumnya dimana orangtua mereka selalu mengantar bahkan menemani mereka hingga ke dalam kelas, hal itu tidak terjadi padaku. Aku selalu dibiarkan mengurus diriku sendiri dari mulai bangun pagi hingga berangkat sekolah. Ibu juga tak pernah membuatkanku sarapan. Dia hanya memberiku segelas susu Dancow sebagai pengganjal perut, hingga aku lulus SMA. Mungkin saat itu aku merasa biasa saja, tapi ketika aku sudah mulai beranjak dewasa, barulah kusadari ibu tak pernah memanjakanku sekalipun. Aku selalu dibiarkan melakukan segalanya sendiri. Bahkan untuk kegiatan sekolah yang hingga hampir larut malampun dia tak pernah mau menjemputku. Dia selalu berkata begini “Pulaglah sebelum bus terakhir”. Karena hal inilah aku tak pernah bisa bermain bersama teman-temanku. Rutinitasku saat itu hanyalah sekolah, belajar, sekolah, belajar, sekolah dan belajar. Tidak ada yang lain.
Biarpun aku masih kecil, tapi aku sudah tahu ibuku mendidikku dengan cara yang berbeda dari orangtua lainnya. Aku tidak tahu apa yang menjadi harapan dan cita-citanya untuk masa depan kami. Yang jelas, ibu menginginkan kami untuk menjadi anak yang cerdas, disiplin, dan penuh sopan santun. Disaat semua teman-temanku menggunakan bahasa ngapak sebagai bahasa sehari-hari mereka, termasuk kepada orang yang lebih tua, hal itu tidak terjadi pada kami. Ibu bapak selalu mengajak kami berbicara dalam bahasa krama inggil (bahasa Jawa dengan tingkat kesopanan tertinggi). Kata ibu, kami harus sopan pada orangtua, dan kami harus memiliki unggah ungguh jika berbicara dengan orang yang lebih tua. Bisa dikatakan bahasa pertamaku adalah bahasa Jawa, dan bukan bahasa Indonesia. Kami memakai bahasa Indonesia hanya saat pelajaran di sekolah saja. Orangtuaku bahkan tak pernah berbicara dalam bahasa Indonesia pada kami berdua! Tapi meski begitu, bukan berarti aku tak bisa bahasa lain selain bahasa Jawa krama. Aku orang Indonesia yang lahir dan besar di Cilacap, jadi tentu saja bahasa ngapak sebagai bahasa asli derahku dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasionalku, sudah langsung masuk ke dalam otak secara otomatis. Aku tak bisa membayangkan seandainya suatu hari terucap kata “kowe” pada ibuku sendiri, mungkin aku bisa dipecat sebagai anak olehnya. Ibu orang yang sangat keras dan disiplin. Jujur, aku sangat takut padanya. Aku tak ingin membuat kesalahan sedikitpun karena itu bisa memicunya untuk marah. Dia bahkan tak segan-segan menghukum kami dengan mencubit ataupun mengurung kami dalam kamar jika kami melakukan kesalahan. Aku takut pada ibu.
Semenjak mulai kuliah di Jogja, aku mulai kehilangan kemampuan bahasa krama inggil-ku. Teman-temanku datang dari berbagai macam latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda, dan aku tinggal di lingkungan dimana bahasa Jawa Jogja sebagai bahasa utama mereka. Kemampuanku semakin berkurang lagi setelah aku pindah ke Jepang. Tapi untunglah karena aku sudah dewasa, ibu sudah tak se-strict dulu lagi. Dia bisa memahami kalau lingkungan dan teman-temanku sudah berubah. Dia bisa menerima jika aku menggunakan berbagai macam bahasa campuran saat berbicara dengannya. Bahasa Jawaku masih cukup dimaafkan daripada tidak bisa sama sekali.