Memasuki bulan April, sebagai awal musim semi disini, saya jadi teringat hari-hari saat masih menjadi pelajar. Selama hidup disini, saya sudah pernah melakukan beberapa jenis pekerjaan paruh waktu, agar bisa mendapat uang tambahan untuk jalan-jalan. Uang beasiswa yang saya terima setiap bulannya sebenarnya cukup saja untuk makan dan biaya hidup, tetapi tidak bisa untuk jalan-jalan yang sedikit jauh. Salah satu pekerjaan paruh waktu yang pernah saya lakukan adalah menjadi guide. Antara bulan Maret hingga April, biasanya saya cukup sibuk mengisi liburan dengan kerja paruh waktu sebagai guide.
Awalnya tidak sengaja, ada info dari salah satu grup, yang membutuhkan guide untuk menemani sebuah keluarga untuk jalan-jalan di Tokyo. Nah, berhubung saya sedang nganggur, saya iseng mendaftar, dan ternyata diterima. Yang namanya orang Indonesia, khususnya emak-emak, sepertinya lingkaran pertemanan mereka sangatlah luas. Hanya dengan beberapa kali menjadi tour guide, nomor hp saya sepertinya sudah menyebar ke banyak orang yang masih dalam lingkaran mereka. Kebanyakan tamu yang saya antar pasti masih ada hubungannya dengan tamu yang sebelumnya. Nah, kali ini saya ingin sedikit bercerita mengenai hal-hal yang saya alami selama menjadi guide. Saya juga akan berbagi sedikit mengenai tipe-tipe tamu yang biasa saya antar.
Pertama kalinya menjadi guide, tentu saja saya ada rasa sedikit nervous. Meskipun saya sudah cukup lama tinggal di Jepang, dan paham dengan tempat-tempat wisata yang ada di Tokyo, serta daerah lain yang biasa dikunjungi turis, tetap saja kadang ada semacam perasaan ragu, kira-kira dia puas tidak ya dengan saya. Saya bukan lulusan jurusan pariwisata, saya juga tidak memiliki sertifikasi guide disini. Jadi, saya lebih mau menyebut diri saya ini tukang nganterin, dan bukan guide. Kalau guide, kesannya itu formal sekali. Saya ingin memulai cerita ini dengan tipe-tipe turis Indonesia yang datang kesini.
Tipe kekinian yang hobi upload di sosial media
Tamu saya yang masuk kategori ini, biasanya umurnya tidak jauh berbeda dengan saya, atau ibu-ibu gaul yang selalu ingin up to date alias kekinian. Biasanya, mereka akan mengambil banyak foto di setiap sudut, untuk diupload di sosial media, khususnya instagram.
Saya senang foto, tapi satu dua jepret saja sudah cukup untuk saya. Namun, untuk orang yang benar-benar doyan foto, saya kadang sampai geleng-geleng kepala sendiri. Mereka bisa ambil sepuluh jepret sendiri untuk satu sudut. Jika dalam satu spot ada 3 sudut menarik, maka akan ada 30 macam foto yang akan mereka ambil. Berhubung saya satu-satunya guide mereka, jadi saya sering diminta untuk menjadi tukang foto. Jika mereka adalah rombongan, wuih, biasanya saya sudah menjadi semacam bola sepak yang digilir ketika semuanya manggil-manggil “Tis, fotoin disini” atau “Tis, habis dia, fotoin aku disana ya” atau Tis, sekali lagi dong, yang tadi backgroundnya kurang oke”, dan berbagai macam permintaan lainnya.
Hal yang terkadang membuat saya sedikit geregetan ketika mengguide rombongan adalah ketika saya sudah siap-siap mau jepret, eh anggota yang lain yang awalnya tidak ikut foto, tetiba masuk ke dalam barisan minta ikutan foto. Lalu, selesai jepret, ada lagi anggota lain yang ikutan nimbrung, dan hal tersebut berlangsung beberapa kali. Yaelah, kenapa tidak sekalian saja dari tadi woro-woro ambil foto bareng. Kan jadi ngga perlu foto berulang-ulang.
Khusus untuk belanja barang bermerek
Gotemba Premium Oulet. Entah sudah berapa kali saya kesini, yang jelas cukup sering. Orang Indonesia, khususnya emak-emak, yang tujuan ke Jepang adalah untuk belanja, sudah pasti mereka akan kesini. Kalau menurut saya pribadi, barang-barang disini memang murah, plus banyak diskon, bisa sampai 70% sendiri, belum termasuk tambahan diskon 5% untuk beberapa merek dengan cara menunjukkan paspor. Namun, ada beberapa orang juga yang mengatakan barang-barang disini bukan barang-barang baru, makanya harganya murah. Entah, mana yang benar, karena saya tidak ada ketertarikan dengan barang-barang bermerek sehingga saya tidak terlalu ngeh dengan hal-hal demikian. Setiap kali saya pergi kesini, mentok saya hanya beli kaos di GAP, atau beli kaos kaki di gerai olahraga. Sudah, itu saja, yang lainnya tidak tertarik. (karena ngga ada uang juga).
Entah ini hanya kebetulan tamu yang saya guide ini memang sangat kaya, atau memang kebanyakan turis Indonesia yang datang ke Jepang itu memang orang kaya semua? Pernah saya mengantar seorang ibu, yang belanjanya wow, sepertinya duit sejuta itu semacam receh kali ya. Kalau dihitung dia mungkin ada habis hampir seratus juta untuk belanja barang-barang dengan merek Valentino, Fendi, Armani, Balenciaga, dan teman-temannya. Itu saja masih belum cukup. Di hari selanjutnya, saya mengantar dia belanja di Ginza, niat awalnya hanya sekedar jalan-jalan tapi kenyataannya belanja lagi. Di Ginza, dia membeli sehelai syal yang harganya setara dengan biaya sewa apartemen saya sebulan. Rasanya kuingin menangis (T.T).
Nyenengin anak
Ketika musim liburan sekolah tiba, biasanya tamu saya adalah keluarga yang ingin menyenangkan anak-anaknya dengan menghadiahi mereka jalan-jalan ke Disneyland atau DisneySea. (Beruntung sekali kalian nak, liburan sekolah ke Disneyland. Dulu saya liburan sekolah ngga pernah kemana-mana). Berhubung harga tiket Disney cukup mahal, jadi mereka tidak pernah meminta saya untuk menemani mereka masuk ke dalam. Saya cuma disuruh antar sampai pintu masuk, lalu membelikan tiket untuk mereka. Setelah itu, tinggal janjian minta dijemput jam berapa.
Untuk kategori ini, bisa dikatakan merupakan hal yang menguntungkan untuk saya. Kenapa? Karena saya dibayar untuk nganterin seharian, tapi kenyataan yang didapat saya tidak pernah mengantar mereka hingga seharian dengan alasan capek. Yeah, anak kecil kalau sudah seharian jalan, apalagi kalau yang dia lihat membosankan, pasti mereka pengennya cepat pulang. Alhasil, jam 4 atau 5 sore saya biasanya akan menyudahi perjalanan hari itu. Tidak terlalu capek, tapi uang yang didapat tetap sama. Untung kan? hehe
Memuaskan hobi
Jujur, tempat yang sedikit ingin saya hindari selama menjadi guide adalah ketika disuruh untuk mengantar ke Akihabara, dan membantu mereka menemukan barang yang saya tidak paham itu apa, dan mereka tidak memberikan petunjuk yang cukup jelas dimana bisa belinya, nama barang, jenis, dan mereknya. Saya tidak paham barang-barang elektronik, dan saya bukanlah penyuka anime sehingga tidak paham mengenai dunia peranimean dan pernak-perniknya.
Pernah, ada seorang ibu yang dititipin entah anaknya atau keponakannya, untuk mencarikan spare part sebuah mobil mainan atau rakitan. Dia hanya menyodori saya gambarnya dalam bahasa Jepang, dan memberikan petunjuk nama tokonya. Saya antar mereka kesana. Namun, ternyata setoknya sudah tidak ada, dan sudah tidak dijual lagi. Yeah, pergantian barang-barang di Jepang itu cepat sekali. Sekalinya sudah ada barang baru, barang yang lama pun dibuang-buang dengan cara menjualnya dengan harga murah, lalu tidak memproduksinya lagi. Sudah saya katakan jika barangnya tidak ada, tapi tampaknya orang yang nitip ini pengen banget dapat barang itu. Akhirnya, si ibu minta saya untuk nganterin ke toko sejenis, dimanapun itu. Yaelah bu, saya juga tak paham toko kayak beginian adanya dimana, terus kalaupun tanya mbah google saya juga tidak tahu kata kuncinya apa. Tanya penjaga tokonya, dia bilang juga tidak tahu, entah sengaja tidak mau ngasih tahu atau memang beneran tidak tahu. Dengan sedikit usaha lebih, kucari toko-toko sejenis yang sepertinya menjual barang-barang seperti itu. Kami pergi ke 3 tempat, dan semuanya nihil. Gak ono, wes gak produksi katanya. Akhirnya, si ibu pun menyerah.
Datang tanpa tujuan
Jadi orang kaya mah enak, mereka bisa sesuka hati pakai uang mereka, tidak pakai mikir panjang. Pernah saya mengguide seorang ibu yang datang ke Jepang sendirian. Saya pikir dia kesini sendirian karena urusan kerja atau apa, karena dia akan berada disini untuk 3 hari saja, jumat sampai minggu. Namun, setelah saya tanya, dia menjawab katanya hanya iseng (T.T). Katanya entah kenapa tiba-tiba ingin ke Jepang, lalu pesan tiket. Pesannya pun tidak pakai mikir. Disaat kebanyakan orang akan membeli tiket saat promo, dia tidak. Harga tiket yang dia beli untuk pp adalah hampir 25 juta. Padahal, harga normalnya untuk maskapai seperti Garuda, ANA, atau JAL adalah dibawah 10 juta dengan hari-hari biasa. Lalu, yang membuat saya semakin sedih lagi adalah karena dia memesan hotel di Ginza untuk 2 malam dengan harga hampir sepuluh juta. Sekarang saya tahu kenapa gaya hidup artis-artis sangatlah mewah, apalagi model Syahrini yang bepergian ke luar negeri pakai jet pribadi. Ketika sudah kelebihan uang dan bingung untuk apa, ya begitulah, duit puluhan juta pun seperti recehan.
Lain cerita dengan si ibu tadi, saya pernah mengguide seorang cowok seumuran, yang berasal dari Jakarta. Dari gayanya sih, sepertinya dia seorang petualang atau minimal orang yang suka jalan-jalan lah. Namun, setelah satu hari jalan dengannya, rasanya saya tidak ingin melanjutkan tour saya dengan dia lagi. Yang membedakan antara si ibu yang kelebihan uang tadi dengan cowok ini adalah, cowok ini tidak tahu apa-apa soal Jepang. Ketika kutanya mau diantar kemana saja, dia tidak bisa menjawab, dia bilang kemana pun boleh. Ketika kusebutkan Shinjuku, Shibuya, Harajuku, dan tempat-tempat lain yang sudah pasti ingin dikunjungi oleh turis kebanyakan, dia seperti bingung, bahkan seperti tidak pernah mendengar namanya. Ketika saya tanya dia punya ketertarikan apa, agar saya bisa menyesuaikan untuk tempat selanjutnya, dia juga tidak bisa menjawab.
Karena saya juga bingung, akhirnya saya ajak dia mengunjungi tempat-tempat yang biasa dikunjungi turis, kali aja nanti dia ada inspirasi selanjutnya ingin kemana. Satu hari itu, saya ajak dia ke Shinjuku, Harajuku, dan Meiji Jingu. Selama perjalanan, dia memang cukup banyak mengajak saya bicara, tapi kok terkesan dia tidak ada persiapan apa-apa, atau minimal browsing lah Jepang itu seperti apa, atau paling tidak kasih tahu saya satu tempat yang benar-benar ingin dia kunjungi. Ternyata, tidak ada sama sekali. Saat kujelaskan tentang tempat-tempat ini, dia seperti tidak nyambung sama sekali. Minta difotoin juga tidak. Lha, terus tujuanmu kesini arep ngopo e mas?
Suka duka
Salah satu hal yang membuat saya senang dengan pekerjaan ini adalah saya sering mendapat berkat tak terduga. Pernah sekali saya dikasih/dibelikan/digratisin jam tangan Swatch gegara pas ke Gotemba, ada diskonan, semakin banyak beli, maka diskonnya semakin banyak. Dari harga satu buahnya sekitar 1 juta, jika beli 3 akan menjadi 1.5 juta, dan jika membeli 6 akan menjadi 2 juta. Berniat untuk dijual kembali di Indonesia, akhirnya mereka membeli 6 buah, dan yang satu buah diberikan untuk saya. Awalnya mau saya bayar, tapi mereka menolak. Yasudah, saya sih senang-senang saja. Anggap saja rezeki anak sholeha, hehehe.
Lalu, pernah suatu hari saya ngeguide keluarga tepat di hari ulang tahun saya. Waktu itu kebetulan hari libur nasional, karena saya nganggur, jadi saya iyakan. Nah, si tante ini adalah masih satu keluarga dengan tante yang dulu pernah saya guide, dan kita berteman di facebook. Jadi, sudah pasti tante yang melihat notifikasi dari facebook, yang memberitahu tante yang satu ini. Pas malamnya, setelah saya mengantar mereka jalan-jalan, sebelum saya pulang, mereka mengajak saya masuk ke dalam penginapan mereka. Saya disuruh naik ke lantai 2. Nah, di lantai 2 itulah ruangan yang awalnya gelap, tiba-tiba lampu menyala. Sambil membawa kue ulang tahu, mereka lalu menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk saya. Saya disuruh tiup lilin, make a wish, lalu si om mengajak kami berdoa bersama. Such a lovely family. Ini adalah pertama kalinya ulang tahun saya dirayakan oleh orang-orang yang baru pertama kali saya kenal. Meskipun entah kapan lagi bisa bertemu dengan mereka, tapi saya mendoakan hidup mereka akan selalu dipenuhi berkat yang melimpah. 🙂
Orang Indonesia yang cukup kekinian, pasti memiliki akun media sosial minimal facebook. Nah, dari sinilah saya berteman dengan mereka. Meski hanya sekali bertemu dengan mereka, tapi kami bisa menjadi teman baik dan saling bertegur sapa di facebook maupun media sosial lainnya. Ada juga yang bisa sampai 2 kali bertemu, saat mereka datang lagi ke Jepang. Kalau sudah seperti ini, biasanya akan ada pertanyaan basa-basi yang diam-diam saya tunggu, seperti “Titis mau dibawain apa?” Dengan malu-malu saya jawab “Ngga usah tante, nanti ngrepotin” Dalam hati sih masih ngarep. “Titis mau tante bawain indomie? Atau rendang?” Dengan emot malu-malu kujawab “Boleh tante, kalau memang tidak merepotkan” 😀
Bisa jalan-jalan gratis plus dapat uang saja sebenarnya sudah membuat saya cukup senang. Kadang saya berpikir, gratisin aja kali yah, toh tiket kereta sama makan mereka juga yang bayar. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, ngga deh. Mengingat panjangnya jam kerja saya yang bisa sampai 12 jam sehari, bahkan kadang lebih, saya anggap fee yang saya dapat adalah pengganti waktu yang mestinya bisa saya pakai untuk istirahat di rumah.
Meskipun melelahkan, bagi saya bekerja sebagai guide adalah pekerjaan yang menyenangkan. Setidaknya saya bisa bertemu banyak orang Indonesia yang bisa dikatakan heboh-heboh. Sejauh ini, saya baru satu kali saja mengantar keluarga yang sedikit kalem, kurang ramai, dan sedikit malu-malu. Sisanya, tahu kan hebohnya orang Indonesia kalau lagi jalan-jalan, khususnya emak-emak? hehe.
Pernah ada satu kali pengalaman yang membuat saya sedikit gedeg. Suatu hari, saya mengantar sepasang suami istri dengan satu anaknya yang masih kelas 5 SD. Mungkin karena dia terlahir sebagai anak orang kaya, dan orang tuanya juga berasal dari keluarga yang kaya juga, jadi mungkin dia tidak pernah bertemu dengan orang-orang pelosok macam saya, selain mbak-mbak yang rewang di rumah mereka. Saat sedang menunggu antrian masuk di sebuah restoran, si anak tiba-tiba tanya seperti ini ke saya “Kak, kok bisa sih ada Jepang” Hah, maksudnya ni anak apa. Aku mencoba memahami. “Ya karena pengen kesini” kujawab sambil tersenyum. “Kakak kan orang Cilacap, kenapa bisa ke Jepang?” What…wah ini anak ngece saya. Dia pikir cuma orang Jakarta doang yang bisa ke luar negeri -.- . Si bapak memang sempat cerita ke saya kalau salah satu mbak yang rewang di rumah dia adalah orang Cilacap. Oke, saya bisa memahami itu, mungkin dia hanya penasaran. Namun, di pertanyaan selanjutnya inilah yang cukup membuat saya naik pitam. “Kak, nama panjangnya siapa?” Kujawab “Titis Rohana Suci” Tahu apa reaksi dia? Dia langsung lari ke arah ayahnya, sambil tertawa sangat keras dia bilang “Daddy, masa nama panjang kakaknya Rohana, sama kayak mbak yang di rumah” Kulihat ekspresi emaknya ketika anaknya terpinggal-pingkal menertawakan namaku, dia sepertinya sedikit getir atau entah apa, tapi akhirnya cuma tersenyum seolah berkata “Mohon maklum ya, anak kecil”. Ini bocah, kalau ngga ada emak sama bapaknya, udah aku sikat, aku jewer sampai nangis!
seru mbak ceritanya aku suka, izin follow dan share di twitter boleh gak?
Boleh kok. Terimakasih karena telah membaca tulisan saya 🙂
sama-sama mbak, baik saya share ya sangat bermanfaat utk mengetahui orang indonesia travelling 😊
Kalau mau ke jepang dan butuh guide, jangan panggil saya ya, karena saya sudah pensiun, wkkkk 😀
oh ok mbak siiip
ah kamu kurang peka sama mas2 itu. Jangan2 dia lagi patah hati n ke jepang buat perjalanan memulihkan hati. Terus dia ngeblank ahahahahah
Bisa jadi…hahaha….dan dia sampai sekarang kadang ngechat cuma tanya kabar 😶