Fuji

Ini adalah pendakian ketigaku ke Fuji. Yang pertama berhasil sampai puncak dengan sedikit drama, yang kedua harus berhenti dan kembali pulang dari pos 7 karena teman seperjalanan yang kurang sehat, dan yang ketiga ini akhirnya bisa sampai puncak tanpa drama, dan semua teman sehat walafiat sampai turun.

Mendaki Fuji bukanlah sesuatu yang mudah mengingat medan yang terjal dan cuaca yang sering berubah. Yang membedakan antara Fuji dan gunung-gunung di Indonesia yang pernah aku daki adalah mengenai akses menuju basecamp dan mengenai kondisi jalur.

Fuji memiliki 4 jalur pendakian, yang keempatnya bisa diakses dengan menggunakan bus khusus dari stasiun terbawah menuju basecamp. Kondisi basecamp Fuji terbilang nyaman, ada parkiran luas, dan ada beberapa toko suvenir, toilet, serta penginapan. Hal yang sangat membedakan saat mendaki gunung di Indonesia dan mendaki Fuji adalah kita tak perlu membawa tenda karena mendirikan tenda di Fuji dilarang. Ada aturan ketat mengenai hal ini.

Lalu, bagaimana jika tiba-tiba di tengah jalan lelah dan butuh istirahat, kedinginan, dan sebagainya? Solusinya jika khawatir dengan hal tersebut adalah booking mountain hut Fuji. Sebaiknya booking dari jauh-jauh hari mengingat musim pendakian (awal juli-awal september) akan sangat padat, khususnya jalur Yoshida sebagai jalur dengan pengunjung paling banyak setiap tahunnya. Kalau takut ngga kebagian dan malas ribet karena situs mountain hut tersebut tersedia dalam bahasa Jepang, maka solusinya adalah ikut paket wisata. Banyak dijual untuk turis-turis yang ingin mendaki Fuji, sudah termasuk bus antar jemput, guide bahasa Inggris, makan, perlengkapan mendaki, mountain hut, serta beberapa lainnya memberikan fasilitas tabung oksigen juga. Meski harga yang dibayar sedikit mahal, tapi jika ingin semua serba praktis dan lebih nyaman, bisa memilih cara ini.

Lama perjalanan dari basecamp hingga puncak berbeda-beda untuk setiap jalurnya. Namun, kalau dirata-rata adalah sekitar 5-8 jam untuk naik, dan 4-3 jam untuk turun sehingga cukup aman meski tidak harus menyewa mountain hut. Saya termasuk yang memilih cara ini.

Mengenai kondisi jalur, setiap jalur memiliki karakter yang berbeda-beda. Saya sendiri hanya pernah mencoba dua jalur, yaitu Fujinomiya dan Subashiri. Saya sengaja tidak memilih jalur Yoshida meskipun aksesnya lebih mudah karena ada bus khusus dari Shinjuku menuju basecamp Yoshida karena jumlah pengunjungnya yang terlalu banyak. Saya ingin menghindari banyaknya pendaki, yang sudah bisa saya bayangkan akan seperti apa macetnya. Saya ingin mendaki dengan santai dan nyaman. Yah, meskipun mulai pos 8 jalur Yoshida dan jalur Subashiri akan berada dalam rute yang sama.

Berbicara mengenai keamanan, jalur mendaki Fuji bisa dibilang aman karena jalurnya jelas, ada tali dan penanda jalan yang mudah dilihat. Medan dari basecamp menuju puncak gersang, pepohonan hanya ada dari basecamp hingga pos 6, setelah itu hanya pasir dan bebatuan sehingga setiap penanda tersebut terlihat jelas. Kalau tidak ada hal-hal lain yang terjadi, kita pasti bisa sampai atas tengan aman.

Awalnya kami akan pergi berempat, namun karena sesuatu hal, salah satu teman tidak jadi ikut sehingga kami hanya pergi bertiga. Perjalanan ini sebenarnya diluar rencana. Seorang kawan yang belum pernah ke Fuji yang mengajakku. Sama seperti pendakian kedua, itu juga karena diajak kawan yang belum pernah ke Fuji. Bedanya, kalau tahun sebelumnya nemenin couple, tahun ini bukan couple, tapi teman sekolah. Tetap saja, saya menjadi orang asing di antara dua sejoli yang saling mengenal #elahhlebay.

Satu kawanku ini tiba di Jepang Oktober tahun lalu sehingga ini adalah musim panas pertamanya di Jepang. Mendaki gunung bukanlah hal baru baginya, tapi mendaki Fuji adalah yang pertama untuknya. Sedangkan kawan yang satu lagi, ini benar-benar menjadi pendakian perdana seumur hidupnya. Dia sendiri tidak tahu apakah akan sanggup sampai atas atau tidak, namun dia ingin mencoba yang terbaik.

Untuk perjalanan kali ini, kami memutuskan untuk mengambil jalur Subashiri. Kami naik bus dari Shinjuku sampai ke station Gotemba, lalu dari sana kami lanjut dengan menggunakan bus ke basecamp Subashiri atau dalam bahasa Jepangnya adalah Gogome Subashiri, yang berarti pos kelima Subashiri. Semua jalur pendakian Fuji dimulai dari pos kelima.

Kami tiba di basecamp sekitar jam 6 sore. Kami berniat mulai mendaki jam setengah delapan malam. Sambil menunggu, kami bersantai sejenak sambil mengisi perut dan ngopi cantik. Malam ini akan menjadi malam yang panjang dan penuh perjuangan.

Normalnya, jalur Subashiri bisa diraih dengan lama perjalanan sekitar 6-8 jam. Perhitungan kami adalah kami ingin bisa sampai di puncak sekitar jam setengah 5 pagi sebelum matahari terbit. Jam setengah delapan kami pun mulai mendaki. Kami bersyukur karena cuaca hari ini cerah, serta malam ini juga tidak terlalu dingin. Kami mulai berjalan melewati hutan dengan pohon-pohon yang tidak terlalu tinggi. Kalau aku bandingkan dengan jalur Fujinomiya, jalur Subashiri terasa lebih nyaman karena kami masih melewati hutan sehingga terasa lebih sejuk. Namun, cobaan terberat di jalur ini adalah jalur turunnya karena jalur naik dan jalur turun Subashiri berbeda. Mengenai jalur turunnya, akan aku tulis nanti di bagian bawah.

Setelah berjalan sekitar satu jam, kami pun keluar dari hutan. Mulai dari sini sampai atas kami tidak akan bertemu dengan hutan lagi, yang ada hanya pasir dan kerikil, sampai puncak. Di perjalanan kami bertemu dengan rombongan pendaki lainnya, namun tidak terlalu banyak sehingga kami masih bisa berjalan santai tanpa ada macet. Keluar hutan, samar-samar terdengar suara seperti sebuah suara letusan. Kulihat beberapa pendaki berhenti di depan kami. Ternyata mereka sedang melihat kembang api dari kejauhan sana. Yeah, ini adalah bulan Agustus dan weekend sehingga ada begitu banyak festival kembang api di bulan ini. Kami pun memutuskan untuk berhenti sejenak, beristirahat sambil menikmati kembang api.

Fuji sudah menjadi semacam ikon utama Jepang, kalau belum lihat Fuji, rasanya belum ke Jepang sehingga tidak heran jika setiap orang, khususnya orang asing ingin mendaki Fuji. Karena Fuji hanya bisa didaki selama musim panas, tak heran jika selama musim pendakian tersebut Fuji selalu ramai, khususnya saat akhir pekan. Sama seperti aku, yang cuma lowong kalau weekend, jadi kudu terima kalau weekend itu jauh lebih ramai dari pada weekday.

Dari anak-anak sampai simbah-simbah, turis lokal hingga turis internasional, semuanya semangat

Pos 8 adalah titik pertemuan antara jalur Yoshida dan jalur Subashiri. Di titik inilah, kemacetan terjadi. Macet yang beneran macet, jalan kaki kudu pelan-pelan, wes kayak lagi ngantri toilet umum. Salah satu hal yang membuat antri adalah karena banyaknya pendaki dari rombongan paket wisata. Karena mereka rombongan, jadi mereka harus berjalan berurutan, mau yang jalannya cepet, mau yang jalannya pelan, semua harus disamaratakan, ngga ada yang boleh duluan dan ngga ada yang boleh ketinggalan. Di sini aku merasa orang Jepang itu keren pakai banget. Mereka bisa mengatur segalanya tetap kondusif meski antrian pendaki begitu panjang. Bahkan mereka menyediakan personil khusus, semacam polisi lalu lintas jalur pendakian untuk mengatur agar tak ada kemacetan di titik tertentu. Mereka berkali-kali ngasih pengumuman, yang pendaki pribadi (bukan dari paket wisata) silakan ambil jalur sebelah kanan/disuruh nyalip pendaki-pendaki rombongan. Selain itu, selama perjalanan itu juga tak henti-hentinya para guide berteriak “Ayok, semangat! Puncak tinggal di depan mata. Pasti bisa!” Dimana lagi coba bisa denger guide gunung nyemangatin semua orang kalau bukan di Fuji.

Semua orang berjalan dengan tertib, mengikuti arahan dari guide masing-masing. Memang, jalan yang begitu macet menjadikan kami harus berjalan pelan-pelan. Namun, justru ini yang menguntungkan karena ada banyak orang dengan tujuan yag sama sehingga kami lebih terpacu untuk bisa mencapai puncak. Seumur hidup aku belum pernah mendaki gunung dengan jumlah pendaki sepadat ini. Meski padat, semuanya tetap aman terkendali. Pelan-pelan, dalam cuaca yang begitu dingin kami berjalan menuju puncak.

Pos 8

Menuju puncak

Sekitar jam 4 pagi akhirnya kami sampai di puncak. Kulihat ekspresi setiap orang yang sudah mencapai gerbang putih, sebuah gerbang terakhir, penanda kalau sudah sampai di puncak Fuji. Kawanku sendiri sangat senang, dia yang tidak pernah mendaki gunung sama sekali akhirnya bisa sampai di titik ini. Menapakan kaki di puncak Fuji adalah salah satu pencapaian terbaik yang pernah dia lakukan.

Kami berjalan mencari tempat yang tidak terlalu penuh untuk menunggu matahari terbit. Semua rupa puncak gunung aku pikir hampir sama. Batu, kerikil, dingin, dan bisa melihat pemandangan awan di bawah sana. Namun, yang membedakan puncak Fuji dengan puncak lainnya adalah suasana puncaknya. Rame, kayak pasar. Puncak Fuji dari sisi Fujinomiya tidak seramai ini. Mungkin karena puncak ini adalah pertemuan antara dua jalur, dan salah satunya adalah jalur teramai. Selain itu, di puncak Fuji semuanya ada. Lapar? ada warung yang menyediakan dari mulai nasi kare, udon, ramen, dan sebagainya. Haus? Mau minum yang anget-anget? Vending machine ada banyak. Cari suvenir? Ada. Bahkan limited hanya dijual di puncak Fuji, dikasih mark hari itu juga. Jadi bakal inget sampai kapan pun, kapan kamu pernah sampai di puncak Fuji. Dan yang lebih menyenangkan lagi, di puncak Fuji masih full sinyal. Jadi, bisa upload live 😀

Rombongan mas-mas yang kebetulan juga dari Indonesia


Menanti sang mentari

Puncak

Limited souvenirs

Perjalanan turun adalah cobaan paling berat selama aku pernah mendaki gunung. Jika memang tahun depan ada kesempatan untuk mendaki Fuji lagi, sepertinya aku akan mencoba jalur yang lain untuk turunnya. Tidak lagi untuk jalur ini. Bagiku, berjalan di jalur ini sama rasanya seperti berjalan di gurun Sahara (meski aku tak pernah kesana). Sebuah perjalanan turun tiada akhir yang menguji mental dan kesabaran untuk tidak misuh-misuh gegara saking gersangnya (T.T). Bagaimana tidak, di saat musim panas seperti ini, suhu sudah mencapai 33 derajat celcius padahal masih jam 7 pagi. Panas luar biasa. Dan yang paling membuat pengen nangis adalah jalurnya yang begitu panjang, full pasir dari atas sampai basecamp. Sangat gersang dan sangat berdebu. Minum air dingin pun tidak cukup membantu melegakan tenggorokan yang rasanya sudah sangat kering ini.

Aku rapopo, ngga ada yang bisa buat pegangan


Negeri di atas awan

Satu hal yang membuatku cukup heran adalah para pendaki (yang pasti bukan orang Jepang), yang mendaki cuma pakai kaos oblong. Ya aku tahu kalau mungkin suhu dingin di Fuji bukan apa-apa jika dibandingkan dengan musim dingin di negaranya sana yang sampai minus, tapi ngga pakai kaos oblong juga kali ya. Kaos oblong plus jaket biasa satu lembar aku masih lumayan ora popo, aku paham dengan mereka yang kuat tahan dingin. Tapi kalau cuma pakai sandal jepit, hhmmm…aku tak tahu apa yang ada di dalam pikiran orang itu. Okelah, pas turun memang panas, tapi semalam opo yow ora kademen sikile.

Saat turun, aku bertemu dengan dua orang asing, keduanya cuma pakai celana kolor. Salah satu orang tersebut hanya pakai sandal jepit, sama bawa tas gendong, dan topless. Dia jalan bareng temennya yang juga cuma pake kolor dan tote bag, tapi bedanya dia pakai sepatu dan kaos oblong. Mereka berjalan tak jauh di belakangku. Aku sengaja memelankan langkahku karena aku penasaran ingin melihat kondisi kedua orang ini. Saat salah satunya lewat di dekatku, kulihat kondisi dia memang baik-baik saja, sehat tak kurang suatu apapun, tapi …tapi…. sandal jepit dia sudah tak berbentuk, tinggal separuh, habis dimakan terjalnya kerikil dan pasir. Sebagai manusia yang gampang kasihan, aku iba dan ingin membantunya. Kalau kata temenku “Udah, kasihin aja Tis sandalmu, kali aja dia yang nanti jadi jodohmu”. -.-

Kutawari dia mau ngga pakai sandal gunungku. Awalnya dia tak mau, mungkin karena tak enak ya. Tapi akhirnya dia mau juga, dan kebetulan ukurannya pas di kakinya. Entah bahasa Inggrisku yang salah apa dianya yang ngga denger, aku niatnya mau minjemin itu sandal sampai basecamp saja karena di basecamp ada yang jual sandal. Tapi sepertinya dia salah pengertian, dia menganggap kalau aku ngasih sandal itu ke dia. Saat sampai di basecamp, dia hanya berkata arigatou lalu pergi begitu saja. Kuikhlaskan sandal gunungku satu-satunya (T.T)

Mas sandal jepit

Satu hal yang kusuka dari basecamp Subashiri adalah tersedianya toilet yang super bersih dengan pencetan bidet. Meskipun bayar, tapi bagiku ini tak masalah jika dibandingkan dengan toilet yang ada di jalur Fujinomiya. Apalagi toilet yang ada di pos 8, oh my God, kalau bukan karena terpaksa, aku akan lebih milih nahan pipis sampai basecamp dari pada harus pipis di situ. Saran untuk yang belum pernah mendaki Fuji, sebaiknya selama mendaki ngga usah terlalu banyak minum biar ngga kebelet pipis, jadi tak perlu merasakan toilet umumnya (bukan yang di basecamp). Kecuali kalau sewa mountain hut, itu beda cerita.

Sesuai perkiraan, jam 10 pagi kami sampai di basecamp dengan selamat, sehat walafiat. Kami langsung beristirahat di salah satu warung, pesan ramen dan es serut. Tak ada yang lebih nikmat lagi selain makan es serut setelah melalui 3 jam perjalanan di “gurun Sahara”. Fuji, arigatou. See you next year 🙂

Lelah dan ngantuk

Full team

Lunch

Warung es serut

Nge-ramen

Leave a comment