Makan Siang Terbaik

Aku memiliki lidah yang sangat Indonesia, dan sedikit picky soal makanan. Bagiku, makanan enak adalah makanan yang nyaman dimakan baik secara tekstur maupun secara aroma. Aku tak suka makanan yang memiliki tekstur lembek dan lengket seperti okra dan natto, dan aku tak suka makanan berbau kuat seperti durian dan Indian curry.

Namun, di sisi lain aku sangat menyukai makanan yang berbumbu kuat, gurih, dan pedas. Aku juga sangat menyukai makanan berkuah, seperti soto dan bakso, serta sangat menyukai sayuran berkuah seperti sop, sayur bening, dan sayur asam, apalagi jika dilengkapi dengan tempe goreng atau ikan asin, plus sambal terasi. Bagiku, itu adalah makanan terenak sedunia, tak ada yang bisa mengalahkannya.

Berhubung aku orang Indonesia tulen yang tak  bisa hidup tanpa nasi, aku tak akan bisa bertahan jika diharuskan makan roti setiap hari. Hal ini pernah terjadi ketika aku berada ke Italy, sebuah negara dimana spageti sebagai makanan pokok mereka. Tapi bukan itu yang ingin kuceritakan di sini. Kali ini, aku ingin bercerita tentang makanan terbaik yang pernah aku nikmati sepanjang hidupku.

Tepat sehari sesudah natal, aku dan si Mak bangun pagi-pagi meninggalkan apartemen sewaan kami yang hangat dan nyaman untuk menuju Swiss. Tidak, kami tidak akan pergi ke pusat kota Swiss, kami hanya akan pergi ke wilayah barat Swiss yang berdekatan dengan Italy, yang dilewati oleh jalur pegunungan Alpen.

Bisa melihat rangkaian pegunungan Alpen yang indah adalah salah satu impian sejak aku pertama kali melihatnya di kalender yang ibuku bawa dari sekolah. Saat itu aku hanya berani bermimpi karena aku tahu itu tak akan mungkin. Aku hanyalah anak kampung yang tinggal di kota kecil di bagian selatan pulau Jawa, yang bahkan tak pernah berani bermimpi untuk bisa pergi ke luar negeri. Alpen terlalu jauh dari Cilacap.

Namun, Tuhan itu memang maha segala-Nya, meksi aku hanya pernah meminta secara tersirat, nyatanya Dia benar-benar mengabulkannya. Di sinilah aku sekarang, di dalam kereta Bernina Express, kereta yang akan membawaku ke tempat yang aku lihat di kalender dulu. Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam dengan menggunakan kereta cepat, sampailah kami di Tirano, sebuah stasiun kecil di pinggiran Italy, yang berbatasan langsung dengan Swiss. Saat aku dan si Mak datang, stasiun ini tampak lengang dan sepi. Kurasa karena ini masih libur natal sehingga tak banyak orang yang bepergian. Namun, hal inilah yang justru menjadi kesempatan bagus untuk kami berdua.

Tak lama kemudian, kereta kami pun datang, kami bergegas menaikinya. Awalnya kupikir karena kami datang cukup awal sehingga belum ada banyak penumpang yang naik ke dalam kereta. Namun kenyataannya, kami mendapati tak ada siapa pun di dalam satu gerbong tersebut hingga kereta berangkat. Yup, gerbong dengan kapasitas dua puluhan orang ini hanya diisi oleh kami berdua!

Melihat salju mungkin bukan kali pertama untukku, tapi menyusuri pegunungan salju dengan scenic train, ini menjadi pengalaman pertama yang akan aku ingat seumur hidupku. Bernina Express merupakan scenic train yang terdiri dari beberapa gerbong, namun hanya dua gerbong saja yang dibuat dengan penutup kaca mulai dari jendela hingga ke atapnya. Dengan ini, kami bisa melihat pemandangan di luar jendela dengan lebih luas dan jelas.

Ketika kereta mulai bergerak, pemandangan awal yang kami lihat adalah hamparan sawah yang tampak begitu segar dan hijau, sangat menyejukkan mata. Perlahan, ketika kereta melaju semakin ke atas, pemandangan hijau pun samar-samar mulai menjauh, digantikan dengan pemandangan kebun yang tampak gersang karena tak ditanami. Kereta terus meliuk ke atas, kami melewati sebuah jembatan yang begitu tinggi, yang kemudian membawa kami ke dalam sebuah terowongan panjang.

Saat keluar dari terowongan, kami pun disuguhi dengan pemandangan yang berbeda lagi, yaitu pemandangan hutan pinus yang begitu indah. Dari sini, aku bisa melihat dengan jelas rangkaian gunung yang terlihat putih berdiri dengan gagahnya. Apakah kereta ini akan membawa kami hingga ke atas sana? Entahlah, yang jelas aku sudah tak sabar menanti pemandangan indah apalagi yang akan kami lihat setelah ini.

Jika kalian pernah menonton film Narnia, kalian tentu ingat ketika pertama kalinya Lucy masuk ke dalam lemari yang kemudian membawanya ke dunia lain. Dia begitu takjub ketika dia tiba-tiba sudah berada di dunia yang lain, negeri Narnia yang putih dipenuhi oleh salju. Yup, mungkin perasaan seperti itulah yang kurasakan ketika kereta yang kunaiki ini keluar dari terowongan, dan muncul di tengah-tengah hutan salju. Narnia! Itulah kata pertama yang muncul di kepalaku saat itu. Aku dan si Mak sampai melongo melihat pemandangan yang begitu menakjubkan di hadapan kami. Tak pernah aku melihat gunung salju sedekat ini, yang hanya berjarak beberapa meter dan dibatasi oleh sebuah jendela kaca. Aku tak tahu bagaimana harus mengungkapkannya dengan kata-kata, it was just amazing! 

Sebelum memutuskan untuk ke sini, aku sudah melakukan sedikit riset, apa saja yang bisa kulihat, serta hal apa yang bisa kulakukan selama perjalanan menggunakan Bernina Express ini. Dan inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa aku memilih untuk berhenti di tengah jalan, dan bukannya langsung naik kereta sekali jalan sampai ke Swiss.

Ospizio Bernina, sebuah stasiun kecil dengan ketinggian 2253 mdpl, merupakan stasiun tertinggi yang dilewati oleh Bernina Express, serta menjadi salah satu dari stasiun kereta tertinggi di Eropa. Di tempat inilah kami memutuskan untuk berhenti “hanya” untuk bersantap siang.

Tidak sekedar stasiun biasa, tepat berada di depan Lago Bianco (danau putih), serta dikelilingi dengan pegunungan yang tertutup es, stasiun ini memiliki pemandangan yang tak akan pernah bisa ditemukan di negara lain di mana pun di dunia. Danau es, gunung, salju dan dilengkapi dengan langit biru yang begitu cerah, kombinasi yang benar-benar sempurna untuk melihat betapa agungnya karya Tuhan.

Kulihat beberapa orang turun ke bawah untuk bermain ice skating di Lago Bianco yang membeku itu. Ah, seandainya aku memiliki cukup banyak waktu, ingin rasanya aku melepas sepatuku ini lalu menyentuhkan kakiku di atas danau beku itu untuk pertama kalinya dalam hidupku.

Bangunan yang awalnya kupikir sebagai kantor untuk membeli tiket ini ternyata adalah sebuah restoran untuk lantai satunya, dan penginapan untuk lantai dua dan tiganya. Seorang wanita 30-an langsung menyambut kami dengan senyuman saat kami masuk ke dalam restoran tersebut. Meskipun berada di tempat yang begitu terpencil, bangunan ini jauh dari kata kuno, sangat bersih, dan modern. Desain interiornyanya pun begitu simpel dan memberikan kesan hangat dan nyaman. Kami langsung mengambil kursi di bagian tengah, dekat dengan televisi.


Wanita tersebut mendatangi kami dengan membawa dua buah buku menu. Dengan tempo yang begitu cepat, dia mulai berbicara dalam bahasa yang tak kupahami sama sekali, yang kutangkap sebagai penjelasan menu yang tersedia hari ini.  Selesai bicara, dia memandangi kami dengan wajah seperti menunggu jawaban. Aku dan si Mak hanya bisa saling pandang, tak tahu harus berkata apa. Kucoba bertanya dalam bahasa Inggris, namun dia menunjukkan wajah kebingungan. Dia mulai berbicara lagi dengan tempo yang sedikit diperlambat, mungkin dia berharap kami bisa memahaminya. Aku dan si Mak tetap tak paham.

Tak menyerah, dia lalu menunjuk kemasan teh dan kopi yang tertata di atas meja kasir. Owalah, maksudnya tanya kita mau minum apa tow? Kujawab dengan menunjuk si bungkusan teh. Dia pun meninggalkan kami, membiarkan kami untuk memilih menu makanan yang kita inginkan.

Tak sampai di situ, saat kubuka buku menu tersebut, tak ada terjemahan bahasa Inggris di dalamnya, hanya ada tiga buah bahasa yang kutebak adalah bahasa Italy, Prancis, dan Jerman #sotoy. Di saat seperti inilah, aku merasa ada gunanya juga aku memilih mengambil kelas bahasa Italy di sekolah. Meski tak banyak yang sudah kupelajari, tapi bisalah sedikit meraba-raba kalau hanya untuk memahami mana roti dan mana daging.

Kupanggil wanita tersebut, dan kuputuskan menggunakan bahasa isyarat saat memesan makanan kami. Kutunjuk saja menu yang kami pilih, sambil mengacungkan cari telunjukku yang aku maksudkan sebagai satu buah. Dengan suhu di bawah 0 derajat, tak ada yang lebih nikmat lagi selain menyantap semangkuk sup dan secangkir teh hangat. Selain itu, kami juga memesan beberapa makanan lainnya. Tanpa perlu menunggu lama, semua makanan yang kami pesan pun datang.

Aku langsung menyendok cream soup di hadapanku, yang langsung diikuti dengan perasaan lega dan nikmat tak terkira saat cream soup tersebut menyentuh tenggorokanku. Sangat enak! Begitu juga dengan secangkir teh Lipton yang entah kenapa aromanya begitu nikmat, sangat berbeda dengan teh Lipton yang ada di Jepang. Makan di sebuah negeri impian, dengan pemandangan yang begitu menakjubkan bukanlah sesuatu yang bisa datang setiap saat. Sebuah mimpi, penantian panjang, serta rasa syukur bisa sampai di sini menjadi kenikmatan tersendiri yang aku dapatkan melalui perjalanan ini. Dari sini, aku sadar makanan yang enak itu bukan hanya dari rasa nikmat yang dirasakan oleh mulut, tetapi juga dari rasa nikmat yang dirasakan oleh hati.

Leave a comment