Tak terasa tahun 2022 akan segera berakhir. Kalau ditanya apa saja yang sudah terjadi sepanjang tahun ini, jawabannya adalah tahun ini diwarnai dengan banyak hal “baru”. Mulai dari mudik setelah sekian lama tak pulang karena pandemi, resign dari pekerjaan, hingga yang terbaru adalah positif covid! After all these years, pada akhirnya aku kalah juga. Anehnya hal ini justru terjadi saat aku sudah vaksin empat kali, dan sedang berada di tempat terpencil dengan minim penduduk.
Sehari setelah trip ke Fukuoka berakhir, kami bertiga merasa tidak sehat, badan pegal, sakit tenggorokan, dan sedikit demam. Saat itu kami berpikir mungkin kami hanya masuk angin dan kelelahan setelah keliling beberapa kota selama tiga hari full. Namun, saat kondisi mulai memburuk, aku mulai curiga kalau ini covid jika dilihat dari gejalanya. Akhirnya kami memutuskan untuk membeli test kit, dan hasilnya dari antara kami bertiga, aku dan Hayashi yang positif.
Sebenarnya Chanchan juga mengalami gejala yang sama seperti aku dan Hayashi, tapi anehnya dia negatif padahal dia yang lebih lama berinteraksi dengan Hayashi. Yasudahlah mungkin ini memang sudah takdir. Semua akan positif covid pada waktunya. Tapi aku tetap bersyukur mungkin karena sudah vaksin keempat juga, jadi gejala yang dirasakan tidak terlalu berat. Hanya ada sedikit demam pada hari pertama dan kedua, sisanya adalah sakit tenggorokan dan hidung mampet.

Selain positif covid, hal cukup besar lainnya yang terjadi tahun ini adalah keputusan resign setelah lima tahun bekerja di perusahaan ini. Bukan sesuatu yang mudah, setelah berpikir cukup lama dan dengan beberapa pertimbangan, aku tahu kalau keputusan ini memang yang terbaik. Tidak ada penyesalan apa pun, kuanggap memang sudah jalannya harus seperti ini.
Sudah hampir empat bulan berlalu sejak secara resmi aku mengundurkan diri. Alasan resign-ku sederhana, aku hanya ingin ambil break sejenak karena kepala ini sudah terlalu panas dan berat. Aku anggap keputusan ini adalah keputusan yang memang harus diambil karena yowes mau gimana lagi. Ada masa dimana harus berjuang, dan ada masa dimana harus berhenti sejenak untuk ambil nafas sebelum lanjut lagi.

Mungkin aku sedang mengalami yang namanya quarter-life crisis. Bingung mau ngapain, tidak tahu arah dan tujuan hidup selanjutnya, ragu dan takut mengambil keputusan. Dari masalah pekerjaan, keluarga, teman, percintaan, relationship dengan orang lain, semua bercampur aduk jadi satu, yang cukup menguras tenaga dan pikiran.
Having a panic attack, overthinking, anxiety, no confidence, insecurity, afraid of a lot of things, sulit untuk fokus, dan insomnia. Aku sudah mencoba beberapa cara agar bisa sedikit lebih “chill”, mulai dari melakukan aktivitas yang menguras tenaga, minum obat, hingga konsultasi ke profesional. Tapi sayangnya tidak ada satu pun yang benar-benar works. Hingga akhirnya aku berpikir sepertinya aku perlu me-restart semuanya. Dimulai dari hal apa yang paling menguras pikiran, dari situlah aku akan mulai. Resign.
Terkadang aku meluangkan waktu untuk mengingat kembali hal-hal apa saja yang sudah terjadi selama beberapa tahun terakhir ini. Aku mencoba mengevaluasi diri, berpikir apa yang salah, mencoba mencari apa yang menjadi sumber masalahnya. Apakah ada yang salah denganku? Apakah lingkungan yang membuatku jadi seperti ini? Atau memang cara berpikirku yang sudah berubah entah karena faktor usia atau karena pengaruh lingkungan? Atau memang karena salahku sendiri yang banyak mau, kebanyakan mikir yang justru malah membuatku tidak bisa rileks? Adakah hal yang masih bisa kuperbaiki?
Aku yakin ada banyak orang di luar sana yang pernah mengalami hal serupa. Bedanya, tiap orang punya level dan pengalamannya masing-masing. Kadang aku berpikir apa yang akan terjadi seandainya aku tidak pernah ke sini. Karir seperti apa yang akan aku jalani, teman-teman dan lingkungan seperti apa yang akan aku miliki, tinggal di mana, bertemu siapa, menikah atau tidak, dan sebagainya. Apakah aku akan mengalami level kesulitan dan stres yang sama jika aku di Indonesia?
Hidup di negeri orang dengan segala kendala dan keterbatasan diri, kalau mengingat sudah sejauh ini bertahan, I think I did pretty well. Kendatipun ada banyak masalah terjadi yang membuatku sering berpikir sudahlah cukup sampai di sini saja, tapi jika mengingat lagi segala hal baik yang sudah Tuhan berikan, actually I have a great life.
Rintangan dan kerikil tajam yang menghalangi di sepanjang perjalanan adalah cara-Nya membentukku menjadi seperti sekarang ini. Meskipun masih ada beberapa hal yang masih mengganjal dan belum terselesaikan, aku yakin semua akan membaik pada akhirnya. Mungkin aku perlu sedikit lebih woles dan melakukannya dengan slow motion.
Kalau ditanya selama nganggur ngapain aja, apa ngga bosen? Well, sebelum memutuskan untuk resign, aku sudah menyiapkan beberapa rencana kegiatan biar ngga nganggur-nganggur amat. Pikirku biar tak mati gaya juga di rumah ngga ngapa-ngapain. Mulai dari membuat daftar film yang mau ditonton, buku yang mau dibaca, orang yang mau ditemui, tempat yang mau dikunjungi, serta hal baru apa yang mau dipelajari.
Hal terbaik selama masa break ini adalah aku bisa lebih fleksibel secara waktu. Aku tak perlu menunggu weekend atau hari libur nasional dan ambil cuti untuk bisa bepergian. Less people, less crowd. Namun, sayangnya hal ini tak berlangsung lama. Sejak Jepang membuka kembali border-nya untuk turis awal bulan lalu, dimana-mana ramai euy! Yahhh ambil positifnya saja, kalau makin ramai ekonomi Jepang kan jadi gerak, jadi nilai yen pun bisa menguat kembali. Padahal udah ga punya gaji.