Welcome to Billiton

Rabu, 21 November 2012

Tepat dua minggu aku berada di sini, di pulau kecil nan cantik ini, Belitong. Aku senang menyebutkan namanya, terasa asing, namun keren.

Masih kuingat saat aku harus bangun pukul empat pagi, padahal malamnya aku baru saja pergi dengan Ceka, dan baru pulang sekitar jam setengah dua pagi. Aku hanya tidur selama dua jam.

Taksi datang tepat pukul lima pagi. Aku, ibuku, mba Sha, Lusi, dan Rosi, dengan mata masih mengantuk, siap mengantarku menuju bandara. Taksi meluncur, mengantarku menuju bandara, tempat aku akan memulai kehidupan baruku, yang aku juga belum tahu bakal seperti apa.

15 menit kemudian kami tiba di bandara. Aku langsung masuk ke dalam untuk check in. Setelah selesai semua, masih ada waktu, aku keluar lagi untuk menemui mereka semua. Chandra, Link, Ceka, dan mba Meke juga sudah ada. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku, aku tidak bisa mengobrol dengan lancar. Kagok, seperti kehabisan pembicaraan, seperti sedang berbicara dengan orang yang baru kukenal. Aku tidak tahu harus mengobrol apa dengan mereka, dan aku tidak tahu perasaan seperti apa yang kurasakan saat itu. Tiba-tiba Link menyodoriku sebuah plastik berisi boneka kelinci yang sudah buluk, bau pula. Dia bilang, dia tak tahu harus memberi apa, jadi dia memberiku boneka kesayangannya. Aku mengerti, aku tidak masalah dengan baunya, atau pun boneka itu masih baru atau sudah tua, yang kutangkap adalah boneka itu berarti untuknya, dan dia memberikannya padaku. Itu menjadi sesuatu yang sangat berharga untukku pastinya……

Ini saatnya. Aku tahu, aku akan lama lagi bisa bertemu dengannya. Kutarik lengan bajunya, kuajak dia menjauh dari mereka semua. Singkat waktu, kukatakan bahwa aku menyayanginya. Dan dia berkata dia juga menyayangiku, tapi entahlah dia jujur atau tidak, bagiku yang terpenting adalah aku sudah mengungkapkan apa yang ingin aku ungkapan. Cukup, itu saja bekalku, aku sudah memutuskan untuk bertahan.

Tak lama, datanglah Riska, dia langsung memelukku sambil menangis. Haduhh…suasana seperti ini yang paling aku tidak suka. Aku tidak ingin ada yang menangis, aku pasti kembali. Aku tidak akan lama, dan aku masih di Indonesia. Namun, aku bisa memahami, mereka semua menyayangiku, itu juga yang menjadi bekalku untuk bertahan di tempat baruku.

Baru kali ini aku melihat ibu menangis saat mengantarku pergi. Dari dulu, kemana pun aku pergi, entah jauh entah dekat, dia biasa saja. Kali ini, dia menitikkan air mata meskipun hanya sedikit. Aku bisa memahami perasaanya. Dan aku mengerti pula, ibuku sungguh seseorang yang luar biasa. Dia berani melepaskan anaknya pergi ke luar pulau, jauh darinya, akan jarang pulang, dan akan sulit bertemu, membiarkan aku mengikuti kehendakku yang memang ingin pergi. Keputusan yang luar biasa hebat, dia tak pernah menentangku kemana pun aku ingin pergi, tak sekali pun. Tapi aku tahu, kali ini dia sesungguhnya tidak rela, tapi dia berani, dia percaya padaku. Satu lagi bekalku, doa ibu. Tak pernah kutemukan ibu lain yang lebih hebat darinya. Bagaimanapun dia, senyebelin apapun dia, tak akan pernah ada yang bisa menggantikannya. Ibuku terlalu luar biasa.

Batavia Air yang kutumpangi menuju Jakarta pun meluncur. Sedikit dag dig dug, ini kali pertama aku naik pesawat. Ternyata tidak jauh beda dengan naik bis umum Jogja jalur 7, ada getaran seperti lewat jalan yang tak beraspal. Getaran itu makin terasa saat melewati awan. Kupikir awan hanyalah sekumpulan kabut tebal yang bisa ditembus, tapi ternyata bisa membuat pesawat bergetar juga. Ada sensasi yang indah saat aku berada di dalam pesawat. Aku bisa melihat kawah gunung Merapi dari atas udara. Selama ini aku memandangi kawah-kawah gunung dari puncaknya, dari jarak dekat, dari sisi dimana aku berdiri. Namun kali ini, aku bisa melihatnya secara keseluruhan. Puncaknya, kawahnya, serta awan yang mengelilinginya. Sangat indah.

50 menit perjalananku, aku tiba di bandara Soekarno Hatta. Penerbanganku selanjutnya masih sekitar 2 jam lagi. Kuputuskan untuk duduk, memperhatikan setiap orang yang ada di sekelilingku. Tujuan mereka berbeda-beda, sebagian besar ke arah Sumatera. Sudah lebih dari dua jam aku menunggu, namun belum ada panggilan untuk menuju pesawat ke Tanjungpandan. Aku mulai khawatir, jangan-jangan aku berada di tempat yang salah. Jangan-jangan ini ruangan untuk penumpang ke Sumatera, bisa ke Kalimantan, Sulawesi, atau ke Papua malah. Kalau aku sampai salah pesawat, aku tidak jadi ke Belitong. Aku mulai parno sendiri.

Kuamati lagi orang-orang di sekelilingku yang makin lama makin berkurang. Lalu, di depanku ada seorang bapak yang sedang mengobrol dengan orang di sebelahnya. Dia bertanya kepada orang tersebut hendak pergi kemana dia. Kudengar dia menjawab Tanjungpandan. Fiuh..lega sudah hatiku mendengar jawabannya. Aku punya kawan, aku tidak salah tempat, dan aku tidak mungkin salah pesawat.

Ternyata memang ada sedikit delay sehingga kami harus menunggu di boarding room selama beberapa saat. Tak berapa lama sesudah itu, tibalah saatnya aku melanjutkan perjalananku. Belitong. . . . .

Sama dengan Jakarta, waktu perjalananku untuk sampai di Tanjungpandan adalah 50 menit. Penerbanganku yang kedua ini bisa dikatakan hampir tidak terasa karena aku tidur, Maklum, setelah semalam begadang, aku merasa tubuhku perlu sedikit istirahat lagi. Ketika aku bangun, kudengar dari speaker bahwa sebentar lagi kami akan tiba di Belitung.

Dalam bayanganku, aku akan melihat kilauan pasir putih, dan jernihnya air laut Belitung dari atas udara. Namun dugaanku salah, dari atas aku hanya melihat bulatan-bulatan besar berwarna putih di antara hijaunya hutan. Kaolin…ya…bekas penambangan timah yang ditinggalkan begitu saja.

Tidak ada yang istimewa saat aku menginjakkan kaki di bandar udara Hanandjoudin. Sebuah bandara kecil, tidak ada banyak ruangan, semua orang berjalan ke arah yang sama, masuk, lalu menunggu barang-barang mereka. Kulihat om Sugeng sudah menungguku di depan pintu masuk. Orang dari Belitung Adventure juga sudah menungguku, kata Bang Ade, orang yang menjemputku memakai kaos Lombok berwarna biru dan bertopi hitam. Tidak sulit untuk menemukannya. Setelah aku mengambil koperku, aku bergegas menemui om serta orang dari Belitung Adventure tersebut.

Tengah hari sampai sore aku habiskan dengan tidur di rumah om ku. Saking lelahnya, aku merasa tidur siangku saat itu adalah tidur siang ternyaman yang pernah aku rasakan. Di rumah om ku yang sejuk dan sepi, setelah hampir dua minggu begadang terus, akhirnya kali ini aku bisa merasakan yang namanya tidur nyenyak.

Hari pertama tiba di sini, aku langsung disambut dengan mengikuti sebuah rapat kecil. Saat itu aku dikenalkan dengan anggota Belitung Adventure yang lain. Di sini aku menyebut anggota, bukan pegawai karena pekerjaan kami memang tidak seperti sebuah perusahaan, yang penuh dengan aturan bermacam-macam. Di sini kami santai, bermain adalah pekerjaan kami. Kami akan mengadakan acara Batu Mentas Expo 2012. Sesungguhnya aku pun tidak mengerti apa yang mereka bahas, tapi aku berusaha untuk memahaminya.

Selesai rapat, mereka semua pulang. Mulai malam ini, kantor Belitung Adventure inilah yang akan menjadi rumahku. Inilah malam pertamaku di kota kecil bernama Tanjungpandan, pulau yang memiliki nama internasional Billiton. . .

Leave a comment