Hingga detik, ini aku masih merasa semua ini seperti mimpi. Tanah tempatku berpijak kini bukan lagi tanah di mana tempatku lahir. Jepang, di sinilah aku berada sekarang.
1 April, di bandara Soekarno Hatta aku berpamitan dengan kedua orang tuaku. Mereka sudah merelakan aku pergi. Ini bukan kali pertama aku pergi cukup jauh. Sangat jauh untuk ukuran orang lain mungkin. Namun, mereka tahu ini adalah mimpiku sejak dulu, dan mereka mengerti. Tak ada isak tangis, hanya senyum penuh arti di raut wajah ibuku. Dia ibu yang sangat hebat. Tak pernah sekali pun dia melarangku pergi, kemana pun itu. Dia sepenuhnya percaya padaku. Kulambaikan tanganku, dan kami berpisah untuk minimal satu tahun sepertinya. Akan kuusahakan untuk bisa pulang setiap tahun.
JAL 726 pukul dengan jam penerbangan 21.55 membawa kami terbang meninggalkan Indonesia. Sebagian besar di antara kami mendapat sedikit keberuntungan karena kami mendapat kelas economy premium, satu tingkat di atas kelas ekonomi yang semestinya menjadi jatah kami. Katanya, malam itu pesawat penuh sehingga ada beberapa penumpang yang di-upgarade. Betapa beruntungnya kami karena perbedaannya memang cukup signifikan.
Seumur hidupku, aku hanya pernah naik pesawat lokal Batavia Air dan Citilink. Ketika kutahu bahwa kami semua akan naik JAL, aku sangat tak sabar ingin tahu seperti apa sih rasanya naik maskapai bintang lima milik Jepang itu. 17F adalah kursiku, tepat berada di tengah perbatasan antara premium economy dan executive sepertinya. Kursi yang sangat nyaman dengan fasilitas yang sangat lengkap. Kami mendapatkan sandal dan selimut, serta sebuah headphone.
Awalnya aku tak mengerti untuk apa ada headphone diletakkan di dalam kantong di kursi depan kami. Ketika kucek kursiku, barulah kutahu ternyata di sandaran tangan sebelah kanan merupakan ruang tempat menyimpan sebuah monitor yang otomatis menyala ketika pesawat mulai terbang. Ada berbagai macam pilihan hiburan yang ditawarkan. Mulai dari musik, video, film, hingga games. Kulihat daftar filmnya, ada banyak pilihan film terbaru,dan box office. Aku sampai bingung ingin menonton yang mana. Akhirnya kupilih untuk menonton Frozen saja :D.
Tanggal 2 April pukul 07.00 waktu Jepang pesawat pun landing. Di kejauhan kulihat titik-titik bunga berwarna merah muda di sekitar bandara Narita. Untuk pertama kalinya, sakura kulihat secara nyata. Sangat indah.
Ternyata, untuk melewati sebuah gate keluar bandara kami harus mengantri begitu panjang. Ini pertama kalinya aku pergi keluar negeri. Aku tak mengerti apa yang harus dilakukan ketika kita tiba di negara tujuan. Aku hanya mengikuti alur yang ditunjukkan oleh petugas bandara untuk kami para mahasiswa asing. Barulah kutahu, kami ternyata mengantri untuk membuat residant card. Prosesnya tak terlalu lama, tetapi tetap saja menghabiskan banyak waktu. April adalah awal ajaran baru di Jepang sehingga wajar jika antriannya sampai sepanjang ini.
Keluar di exit gate, kami telah dijemput oleh staf dari Bunka Institute of Language, tempat kami akan belajar bahasa Jepang selama satu tahun nantinya. Menggunakan bus, kami meninggalkan bandara.
Sepanjang perjalanan, aku terus mengamati gerak gerik kota yang kupikir sangat ramai ini. Namun ternyata, tidak seperti yang kubayangkan. Narita terletak cukup jauh dari ibu kota, tidak terlalu banyak pemukiman penduduk yang kami lewati, dan jalan rayanya cenderung sepi. Jalanan ini sangat nyaman, luas, dan tak macet. Begitulah kesan pertamaku ketika tiba di Jepang.
Ketika bus mulai memasuki kota, kulihat deretan gedung-gedung yang memiliki bentuk dan warna hampir sama. Serupa, begitulah pikirku. Selama lebih dari dua jam, akhirnya kami tiba di asrama kami, tepatnya di sebuah kota kecil bernama Kodaira. Asrama inilah yang akan menjadi tempatku untuk memulai kehidupanku di Jepang. Akhirnya, mimpiku menjadi nyata.